Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Wisnu Kuncoro, resmi ditetapkan KPK menjadi tersangka. Wisnu ditangkap karena diduga menerima suap dari pihak swasta untuk pengadaan barang dan jasa anggaran 2019.
ADVERTISEMENT
Sebagai Direksi BUMN, Wisnu bergaji besar. Mengutip laporan tahunan emiten berkode KRAS untuk kinerja tahun 2017 yang disampaikan pada 2018 lalu, total gaji seluruh direksi dalam setahun adalah Rp 11,4 miliar. Selain itu, direksi juga mendapatkan tunjangan Rp 2,4 miliar dan asuransi purna jabatan Rp 2,5 miliar. Total remunerasi untuk seluruh direksi BUMN produsen besi baja itu dalam setahun, mencapai Rp 16,3 miliar.
Adapun jumlah direksi di manajemen Krakatau Steel sebanyak 6 orang. Sehingga rata-rata penghasilan yang diterima setiap anggota direksi KRAS yakni sebesar Rp 2,7 miliar per tahun atau Rp 226,4 juta per bulan. Dengan kata lain, pendapatan per bulan Wisnu sekitar Rp 226,4 juta.
Lalu mengapa Wisnu tetap tergoda menerima suap?
ADVERTISEMENT
Pakar Manajemen dan juga Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, mengatakan dengan gaji besar kebutuhan para direksi BUMN sebenarnya sudah terpenuhi dengan baik. Karena itu, dia melihat suap yang diterima Wisnu Kuncoro bukan karena didesak kebutuhannya.
"Jadi korupsi itu di kalangan eksekutif bukan karena kebutuhan, sebab kebutuhan mereka sudah terpenuhi. Jadi, lebih karena faktor greedy (rakus). Korupsi itu ada dua karena by need seperti di rakyat bawah itu misalnya tukang parkir dia dapat berapa, setor cuma 50 persen. Tapi kalangan yang dibidik KPK ini karena mereka korupsi atau greedy, bukan fungsi dari pendapatan atau gaji," kata pria yang juga Komisaris Utama PT Angkasa Pura II (Persero) itu kepada kumparan, Minggu (24/3).
ADVERTISEMENT
Dengan gaji besar, Rhenald menyebut ada beberapa penyebab yang membuat para pejabat perusahaan negara menerima suap. Pertama, kata dia, bisa saja direksinya tergoda oleh rayuan vendor atau pihak swasta yang mengiming-imingi sesuatu, padahal direksi sudah menolak.
Faktor kedua, ada pimpinan yang tanpa sadar dipelihara oleh anak buah yang bermain. Perlu diingat, posisi anak buah lazimnya lebih lama di perusahaan ketimbang para direksi. Sebab, para direksi terus mengalami rotasi atau pergantian sesuai dengan keputusan Menteri BUMN sebagai pemegang saham tertinggi.
Meski begitu, Rhenald menyebut anak buah yang bermain di Krakatau Steel tidak begitu nampak, tapi kemungkinan itu selalu ada.
"Karena kalau misalnya ada direksi yang ditanya tapi mau tanya dulu ke anak buah atau direksi takut dengan anak buah, besar kemungkinan mereka dipelihara anak buah. Bisa saja itu terjadi," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Perusahaan berkode emiten KRAS ini juga sudah lama rugi. Karena itu, kata Rhenald, para direksinya pasti sudah lama juga tidak menerima bonus selama bertahun-tahun. Sebagai informasi, KRAS pada kuartal III 2018 membukukan rugi bersih sebesar USD 37,78 juta. Kinerja keuangan tersebut tercatat membaik setelah perseroan berhasil menekan kerugian sebesar 51,18 persen dari rugi bersih yang dibukukan sebesar USD 75,05 juta pada kuartal III 2017.
Sebagai komisaris di perusahaan negara lainnya, Rhenald mengaku bersyukur ada KPK. Sebab, ada hal-hal yang tidak bisa terlihat oleh komisaris dan pengawas lainnya kepada direksi, tapi bisa terdeteksi KPK.
"BUMN justru terima kasih dengan adanya KPK karena ada hal hal yang tidak bisa dilihat. BUMN ini badan besar, aset besar, asetnya besar, investasi besar, penjualan besar, dan orang semua punya kepentingan BUMN," kata dia.
ADVERTISEMENT