Gapki Nilai Target Prabowo Kejar B50 Akhir 2024 Terlalu Ambisius

5 September 2024 19:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2024).  Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menanggapi pernyataan presiden terpilih Prabowo Subianto yang ingin mempercepat bauran bahan bakar nabati (BBN) Solar dengan 50 persen minyak kelapa sawit atau biodiesel 50 (B50) pada akhir tahun ini.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan terlalu cepat untuk Indonesia mengejar B50 akhir tahun ini. Sebab proses implementasi energi hijau harus melewati uji coba terlebih dahulu.
Selain itu BBN ini juga harus mempertimbangkan produksi dan diharapkan tidak mengganggu kinerja ekspor. Sebab semakin tinggi BBN, maka biaya yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari hasil pungutan ekspor CPO dan produk turunannya juga akan semakin besar.
"Rasanya terlalu mepet, karena kan ini butuh uji coba karena harus lihat juga produksi mencukupi enggak? Karena kalau ekspornya turun, nanti yang membiayai B50 siapa? Kan dari dana ekspor, dari BPDPKS,” kata Eddy saat ditemui di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (5/9).
ADVERTISEMENT
Karena itu, Eddy melihat Indonesia belum bisa mengejar target B50 pada akhir tahun. Dia yakin implementasi B50 tanpa adanya penambahan jumlah produksi, pasti akan mengurangi jatah ekspor. Meskipun Eddy juga tidak menampik hal ini akan mendorong pemerintah dalam program replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Menteri Pertahanan Indonesia dan presiden terpilih Prabowo Subianto menyampaikan pidato saat pertemuan dengan Perdana Menteri Papua Nugini James Marape dalam konferensi pers di Port Moresby, Papua Nugini, Selasa (21/8/2024). Foto: ANDREW KUTAN/AFP
“Kalau produksi seperti sekarang ini tapi ya, berkurangnya (jadi) sekitar 24,77 ton (per tahun) ekspornya menjadi segitu, dari (B40) 30 juta ton sampai 32 juta ton (per tahun). Kuncinya adalah produktivitas, utamanya dengan PSR," ujarnya.
Senada dengan Eddy, Wakil Ketua dan Dewan Pengawas Independen Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Sofyan Djalil juga melihat permasalahan peningkatan BBN adalah tingkat produktivitas. Sofyan tidak menampik Prabowo memiliki perhatian yang besar terhadap sawit, hanya saja menurut dia hal ini harus diiringi dengan PSR.
ADVERTISEMENT
“Ambisi keinginan yang besar itu tidak akan bisa tercapai kalau persoalan tingkat produktivitas tidak terselesaikan, tidak meningkat. Persoalan produktivitas kita tidak meningkat kalau kita tidak berhasil melakukan Peremajaan Sawit Rakyat terutama, juga persoalan governance, tata kelola, masalah lahannya,” jelas Sofyan dalam kesempatan yang sama.
Sofyan bilang, jika masalah produktivitas telah diselesaikan, maka B40 hingga B60 dapat tercapai di Indonesia. Sebab peningkatan BBN sangat berkaitan erat dengan produksi.
“Tapi kalau produksi tetap kemungkinan tetap begini harus kita korbankan ekspor. (Padahal) itu ekspor mempengaruhi neraca pembayaran dan lain-lain,” tambah Sofyan.
Sebelumnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto mengatakan akan mempercepat inovasi biodiesel dari B35 menjadi B50. Menurutnya, langkah ini dinilai dapat menghemat pengeluaran Indonesia mencapai USD 20 miliar dolar atau Rp 300 triliun (kurs Rp 15.401) per tahun.
ADVERTISEMENT