GAPKI: Produksi Minyak Sawit Tembus 37 Juta Ton per September 2022

3 November 2022 12:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono. Foto: Dok. GAPKI
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono. Foto: Dok. GAPKI
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menyampaikan, industri minyak sawit telah memproduksi sebanyak 37 juta ton per September 2022. Dari total 37 juta ton, 23 juta ton minyak diekspor.
ADVERTISEMENT
Joko memperkirakan 51 juta ton minyak sawit akan diproduksi hingga akhir tahun 2022. 51 juta ton terdiri dari 47 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil) atau CPO dan 48 juta minyak inti sawit (crude palm kernel oil) atau CPKO.
"Kita menyadari perang antara Rusia dan Ukraina memberi dampak pada pasokan minyak nabati dunia, terutama minyak bunga matahari. Dalam merespons situasi ini, kita melihat sejumlah negara mengubah konsumsi minyak mereka ke jenis minyak nabati lainnya," ujar Joko dalam sambutan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) di Hotel The Westin Nusa Dua Bali, Kamis (3/11).
Joko mencermati perang ini mendorong harga minyak nabati lain, termasuk minyak sawit yang berkontribusi lebih dari 30 persen dari total pasokan minyak nabati. Harga minyak sawit meroket setelah perang Rusia dan Ukraina dimulai.
ADVERTISEMENT
"Perdagangan minyak sawit dunia juga terkena imbas pada akhir April, ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor CPO sementara. Dengan situasi ini, kita melihat geopolitik dan regulasi terhadap negara produsen minyak nabati berdampak besar kepada perdagangan global," katanya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono. Foto: Dok. GAPKI
Joko menyebut harga minyak sawit mencapai puncak tertinggi di awal September ini, yaitu menyentuh USD 1.800 per metrik ton pada bulan April. Harga ini memecahkan rekor sejarah dalam industri perdagangan minyak sawit.
Menurut Joko, kenaikan harga minyak sawit mempengaruhi harga minyak goreng domestik. Meningkatnya harga minyak goreng menjadi perhatian masyarakat, di mana pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng.
"Larangan ekspor CPO sementara pada beberapa waktu lalu tentu berdampak pada pasar global dan industri minyak sawit domestik, di mana perusahaan kewalahan karena stok minyak menumpuk sehingga pembelian tandan buah segar (TBS) sawit terbatas yang mengakibatkan harganya jatuh," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Akibat larangan ekspor CPO, lanjut Joko, negara luar negeri yang tadinya bergantung pada produsen minyak nabati akhirnya terimbas karena pasokan mulai menipis. Meski demikian, pemerintah Indonesia hanya menerapkan aturan larangan ekspor dalam waktu sebulan.
Joko melihat pemulihan pascalarangan ekspor berjalan lambat. Ekspor minyak sawit mulai meningkat tapi tidak seperti sebelum larangan ekspor diberlakukan, karena sebagian kapal pengangkut minyak tidak beroperasi.
Pekerja membongkar muat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas truk. Foto: ANTARA FOTO/ Akbar Tado
"Kami melihat adanya penurunan harga minyak sawit global yang dipicu oleh melemahnya daya beli dan stok yang melimpah di negara produsen. Pelemahan ekonomi juga mulai terlihat yang juga memicu menurunnya daya beli," sambungnya.
Joko menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi seperti melanjutkan ekspor dengan insentif seperti aturan retribusi sebesar 0 persen, tarif bea keluar yang rendah, serta kemudahan dalam ekspor. Sederet insentif ini bisa menjaga stabilitas harga CPO di level petani.
ADVERTISEMENT