GAPPRI Anggap Kenaikan Cukai Bikin Industri Rokok Merana: Ada Potensi PHK Massal

30 November 2022 21:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja menyortir rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Cagar Budaya Nasional Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Kamis (24/2/2022).  Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja menyortir rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Cagar Budaya Nasional Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Kamis (24/2/2022). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyoroti kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tertimbang 10 persen pada 3 November 2022. Namun hingga akhir November 2022, pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pengaturan tarif CHT untuk tahun 2023 dan 2024.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, mengatakan belum dikeluarkannya PMK tersebut akan berimbas pada kelangsungan usaha pelaku industri hasil tembakau (IHT) legal yang mengalami dilema karena ketidakjelasan aturan pemerintah.
Henry merasa kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun, dan dua tahun atau di 2023-2024 mendatang, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan IHT legal nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau dan cengkeh, serta menjaga kelangsungan investasi.
“Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini, ditambah dua tahun mendatang, akan berdampak negatif bagi iklim usaha IHT legal, potensi PHK tenaga kerja massal, serapan bahan baku dari petani tembakau dan cengkeh akan berkurang. Mau dibawa ke mana nasib IHT legal nasional ini?” kata Henry melalui keterangan tertulis, Rabu (30/11).
ADVERTISEMENT
Henry Najoan menganggap kenaikan tarif cukai secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar. Menurutnya ada hasil kajian lembaga riset Indodata (2021), yang menyatakan bahwa peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen, sebanding dengan Rp 53,18 triliun potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal.
“Bahwa selama tiga tahun berturut turut, tarif cukai dikatrol sangat eksesif yang menyebabkan rokok ilegal sangat marak. Kelihatan sekali terjadi pembiaran atas praktik mafia produsen rokok ilegal yang sangat merugikan rokok legal,” ujar Henry.
Henry Najoan menyebut IHT seolah dijadikan sapi perah yang diambil cukai dan pajaknya, tetapi nasibnya tidak diperhatikan. Ia membeberkan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai.
ADVERTISEMENT
IHT legal nasional selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9 persen dari harga jual eceran hasil tembakau. Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang di produksi. Sisa 16,4 persen sampai 23,7 persen untuk Pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta corporate social responsibility (CSR).
"Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20 persen atau 1/5 dari harga rokok legal. Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal," tegas Henry.
ADVERTISEMENT
Henry Najoan mengungkapkan kondisi IHT legal nasional saat ini perfomanya sedang turun drastis, terlebih di masa pandemi COVID-19, adanya kebijakan kenaikan BBM, dan perekonomian yang tidak menentu. Ia menambahkan, kenaikan cukai rokok tidak serta merta membuat industri dapat menyesuaikan dengan besaran kenaikan tarif yang baru.
"Kenaikan tarif cukai dampaknya bagi Industri rokok lebih pada pengurangan produksi. Sedangkan, bagi karyawan dampaknya akan terjadi pengurangan jam kerja karena produk menurun, bahkan berpotensi terjadi adanya efisiensi belanja bahan baku (tembakau, cengkeh). Tapi, kalau sudah tidak bisa ya ujung-ujungnya pasti kami melakukan rasionalisasi (PHK),” jelas Henry.
Henry berharap pemerintah memberikan relaksasi pembayaran pita cukai sebagaimana yang telah dilakukan periode tahun 2020-2022 di tengah situasi yang kompleks akibat kebijakan kenaikan cukai.
ADVERTISEMENT
"Kami berharap, kondisi industri rokok legal yang sedang terpuruk seperti saat ini, Pemerintah dapat memberikan relaksasi pembayaran pemesanan pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari pada tahun 2023 dan 2024," pungkas Henry.