Masih Antre Gas LPG 3 kg

Gas Subsidi dalam Kelindan Tekanan Ekonomi dan Evaluasi Menteri

10 Februari 2025 20:20 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
“Jangan ganggu kemiskinan kami.”
Letupan emosi Effendi tak terbendung. Selasa (4/2) siang itu, ia meluapkan protesnya langsung di hadapan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang tengah meninjau pangkalan gas LPG 3 kg di Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang.
Effendi sudah tak tahan lagi. Sudah dua pekan ia kesulitan mendapat gas melon. Kondisi makin parah usai Kementerian ESDM melarang pengecer atau toko kelontong menjual gas subsidi itu. Pada 1 Februari 2025, Kementerian ESDM memangkas distribusi gas hanya sampai pangkalan.
Warga yang ingin membeli gas melon juga harus membawa KTP. Dampaknya, antrean warga di pangkalan gas mengular di sejumlah daerah, termasuk di dekat rumah Effendi.
“Saya lagi masak, saya tinggal demi antre gas… Anak kami lapar, butuh makan, butuh kehidupan. Logika berjalan dong, Pak. Akal sehat berjalan,” keluh Effendi kepada Bahlil.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia diprotes keras Effendi, warga yang antre gas 3 kg di Karawaci, Tangerang, Selasa (4/2/2025). Foto: Muhammad Iqbal/ANTARA
Sambil memegang pundak kiri Effendi, Bahlil menyatakan niatnya membuat kebijakan itu agar subsidi gas 3 kg senilai Rp 87 triliun tepat sasaran untuk masyarakat miskin. Ia juga ingin harga gas 3 kg terkontrol sesuai harga eceran tertinggi (HET): tidak lebih dari Rp 20 ribu per tabung.
“Tapi yang terjadi sebagian kita punya gas dipakai untuk oplosan, dipakai industri, harganya dinaikkan Rp 25–30 ribu,” kata Bahlil.
Bagaimanapun, kebijakan Bahlil menuai reaksi keras masyarakat. Warga yang sebelumnya bisa dengan mudah membeli gas di warung-warung, sejak aturan itu berlaku harus pergi lebih jauh ke pangkalan dengan menenteng-nenteng tabung.
Imah, warga Jati Padang, Jakarta Selatan, harus ke pangkalan yang berjarak 3 km dari rumahnya demi mendapat gas. Padahal ia biasanya tinggal memesan gas ke warung langganannya. Apesnya, stok gas Imah habis pada malam hari. Padahal ia perlu memasak pagi-pagi buta untuk bekal sekolah ketiga anaknya .
Sementara Mulyono, pemilik warung di Palmerah, mengatakan stok gas 3 kg di tempatnya sudah kosong sepekan lebih. Menurutnya, keberadaan pengecer justru memudahkan masyarakat. Ia pun selama ini menjual gas tidak lebih dari Rp 20 ribu per tabung.
“Kasihan konsumen. Dikira kita menimbun? Enggak,” kata Mulyono saat ditemui kumparan, Rabu (5/2).
Kritik masyarakat yang menderas pada akhirnya membuat Presiden Prabowo Subianto bereaksi. Ia membatalkan keputusan Bahlil. Aturan itu praktis hanya berlaku empat hari. Bahlil menyatakan pengecer boleh lagi berjualan gas LPG 3 kg dengan status sebagai sub pangkalan.
Sejumlah warga antre membeli gas elpiji 3 kilogram di Cibodas, Tangerang, Rabu (5/2/2025). Foto: Putra M. Akbar/ANTARA

Ekonomi Warga Tak Baik-baik Saja

Kebijakan memangkas distribusi gas 3 kg nyatanya sempat menimbulkan antrean di pangkalan. Sebenarnya ada pilihan gas non-subsidi 5,5 kg yang bisa dibeli tanpa antre. Gas non-subsidi itu bisa dibeli di minimarket maupun agen Pertamina. Namun karena perbedaan harga yang cukup jauh membuat warga lebih memilih antre gas melon.
Harga gas 5,5 kg non subsidi di Jakarta dijual sekitar Rp 90 ribu, sedangkan gas melon 3 kg Rp 20 ribu. Jika dibandingkan, harga per 3 kg gas non-subsidi sekitar Rp 49-50 ribu. Selisihnya dengan gas melon mencapai 2,5 kali lipat lebih mahal. Gambaran warga di berbagai daerah yang rela antre demi mendapat gas subsidi itu menunjukkan kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai para pembeli gas 3 kg faktanya bukan hanya dari kelompok miskin, namun juga kelompok kelas menengah tanggung (aspiring middle class).
Kelompok kelas menengah tanggung di Indonesia kini jumlahnya 137 juta jiwa atau hampir 50% populasi. Bank Dunia mengklasifikasikan masyarakat yang masuk kelompok ini memiliki pengeluaran biaya hidup Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per bulan.
Menurut Bhima, kelompok kelas ini juga perlu mendapatkan subsidi gas. Sebab dengan kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tertekan, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan PHK di mana-mana, kelompok ini bisa turun kelas menjadi kelompok rentan dan miskin jika tak dibantu negara. Sehingga ia mengusulkan masyarakat penerima subsidi 3 kg diperlebar hingga kelompok kelas menengah tanggung.
Kelas menengah berdempetan di KRL Jabodetabek tujuan Stasiun Jakarta Kota. Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
“Memang LPG untuk orang miskin, tapi faktanya yang ikut antre di pangkalan, yang membeli, yang disebut tidak tepat sasaran jumlahnya banyak. Mereka butuh bantuan negara dalam situasi sekarang. Belum tentu menambah anggaran subsidi LPG, karena faktanya mereka menggunakan itu sekarang. Jadi regulasinya harus diubah,” ujar Bhima.
Sementara bagi Trubus Rahadiansah, antrean yang mengular demi mendapat gas subsidi menggambarkan realitas ekonomi warga yang memprihatinkan.
“Masyarakat gak nyaman karena banyaknya kebijakan pemerintah yang belakangan ini betul-betul membebani masyarakat. Ada penurunan kesejahteraan, penurunan penghasilan,” ujar pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti itu.
Adapun menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, kebijakan subsidi memang harus dikendalikan. Namun di sisi lain, masyarakat kelas menengah yang tidak mendapat subsidi perlu diberi insentif agar tak tertekan dengan meningkatnya biaya hidup.
Fabby mengusulkan agar pemerintah menaikkan angka Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang kini sebesar Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan.
“Mungkin dalam 2-3 tahun ke depan diberikan penurunan pajak penghasilan. Perlu ada trade-off karena kelas menengah nggak dapat subsidi,” ujar Fabby.
Sejumlah warga antre membeli gas elpiji 3 kilogram di Cibodas, Kota Tangerang, Banten, Rabu (5/2/2025). Foto: Putra M. Akbar/ANTARA FOTO

Kebijakan Gagap Menteri Ekonomi Prabowo

Kisruh persoalan gas subsidi menjadi catatan negatif di 100 hari pemerintahan Prabowo. Tangan kanan Prabowo sekaligus Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan aturan melarang pengecer menjual gas 3 kg bukanlah kebijakan presiden. Aturan itu, kata Dasco, murni kebijakan Kementerian ESDM yang dipimpin Bahlil.
Trubus berpendapat kebijakan gas menunjukkan miskoordinasi antara Presiden Prabowo dengan menterinya. Ia menilai ada menteri Prabowo yang gagap menjalankan perintah presiden dan justru berimprovisasi. Padahal Prabowo sebelumnya sudah mengadakan retreat di awal kabinet terbentuk agar para menteri memiliki pandangan yang sama.
Trubus juga menilai kebijakan gas tidak disiapkan secara matang, termasuk mitigasi risikonya, namun tetap dipaksakan. Akibatnya muncul resistensi masyarakat. Bhima pun berpandangan serupa. Menurut Bhima, seharusnya Kementerian ESDM menggelar uji coba terlebih dahulu selama minimal 6 bulan di daerah tertentu semisal Jabodetabek.
“Ini bentuk kegagalan dari sisi kebijakan pemerintah [Kementerian ESDM], kebijakan BUMN yang melakukan penugasan untuk distribusi LPG, yang akhirnya menjadi korban adalah masyarakat,” kata Bhima.
Menteri Bahlil Lahadalia berbincang dengan pedagang gas elpiji 3 kg di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (4/1/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Di samping itu, Trubus menduga ada kepentingan politis di balik kebijakan gas tersebut. Ia menilai Bahlil sebagai Ketua Umum Golkar bisa mendapat citra positif jika kebijakan itu berhasil.
“Menteri-menteri ini kebanyakan orang parpol, bukan teknokrat atau akademisi. karena parpol itu punya kepentingan sendiri. Pak Bahlil sebagai Ketum Golkar sudah punya visi misi terkait Golkar. Sehingga ketika membuat kebijakan mesti tak luput dari kepentingan-kepentingan politisnya,” ucap Trubus.
Sumber kumparan di elite partai koalisi Prabowo berujar, motif politis tak bisa dikesampingkan dari langkah Bahlil soal gas. Menurut sumber itu, Bahlil ingin membuat kebijakan yang mempunyai efek kejut dan bisa membawa manfaat. Namun yang terjadi justru jadi kacau balau, sebab ia terkesan hanya mengandalkan tim ahlinya saat merumuskan kebijakan dan kurang melibatkan para pejabat eselon kementeriannya.
Sementara itu Bahlil menyatakan kisruh gas merupakan ujian kesetiaan bagi para kader Golkar. Ia sempat menyentil politikus Golkar sekaligus Ketua Komisi XII Bambang Patijaya yang harusnya bersuara mendukung kebijakan gas. Bahlil mengibaratkan Golkar sebagai sebuah kapal di mana terdapat ‘anak buah kapal (ABK)’ yang masih satu tujuan, lalu ada ABK yang meloncat karena kapal miring, dan ABK yang justru berupaya agar kapal cepat karam.
“Cuma nakhoda yang satu ini sudah sering bermain di ombak-ombak itu. Jadi insyaallah, no problem. Nggak ada masalah, saya pikir,” kata Bahlil.
Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Tak cuma persoalan gas. Selama 100 hari terakhir, beberapa kebijakan di tim ekonomi Prabowo justru menyulitkan publik. Seperti penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang diluncurkan pada 1 Januari 2025.
Coretax yang diharapkan bisa menyederhanakan sistem perpajakan nyatanya membuat sulit wajib pajak. Mulai dari web kerap error, sulit membuat akun, hingga tidak sesuainya data pajak di sistem. Padahal biaya pengadaan coretax mencapai Rp 1,3 triliun.
Rinciannya sistem aplikasi coretax dikembangkan konsorsium LG CNS-Qualysoft dengan nilai kontrak Rp 1,23 triliun. Lalu PT Deloitte Consulting yang mendapat kontrak Rp 110 miliar untuk jasa konsultasi manajemen.
“LG CNS Qualysoft-Consortium nantinya menyediakan sistem informasi yang akan menggantikan sistem informasi yang selama ini dipakai oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak 2002 dan kini sudah usang,” tulis laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Nyatanya, bagi Bhima Yudhistira, sistem coretax justru lebih buruk dari sistem yang lama. Ia menganggap sistem pajak DJP yang lama lebih sederhana.
Ilustrasi Coretax. Foto: M.Gunsyah/Shutterstock
Berdasarkan pengalaman pribadi menggunakan coretax, Bhima mengaku sulit memadankan NPWP dan NIK-nya untuk mendapatkan Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP). Alhasil ia mengajukan form komplain dengan tanda tangan digital menggunakan aplikasi lain, bukan coretax.
Menurut Bhima, penerapan coretax terlalu dipaksakan. Seharusnya, kata dia, penggunaan sistem perpajakan baru direncanakan secara matang dan diuji coba terus hingga siap, setidaknya selama 2 tahun.
“Ini pengalaman [pribadi]. Artinya bagi wajib pajak perorangan yang mau patuh menjadi sulit. Padahal harusnya sistem pajak dibuat sederhana, sehingga orang yang tidak mengenal sistem perpajakan tertarik untuk melaporkan pajak, membayar pajaknya tepat waktu,” jelasnya.
Bhima berpendapat kendala di sistem coretax bisa berpengaruh terhadap penurunan kepatuhan pajak. Sementara dari sisi pengusaha yang kesulitan melaporkan faktur pajak atau bukti potongan via coretax, bisa berdampak terhadap menurunnya penerimaan pajak.
Padahal pemerintah berharap coretax bisa mendorong penerimaan pajak tahun ini yang ditargetkan Rp 2.490 triliun dan rasio pajak sebesar 12%, dari sebelumnya 10%.
“Pengadaan coretax yang sangat mahal, triliunan, membuat negara justru kehilangan potensi pendapatan negara. Jadi ini agak blunder,” ucapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun meminta maaf atas berbagai kendala di coretax. “Kepada seluruh Wajib Pajak, saya mengucapkan maaf dan terima kasih atas pengertian dan masukan yang diberikan selama masa transisi ini.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Foto: ANTARA/Muhammad Ramdan
Belum lagi persoalan PPN. Hingga pertengahan Desember 2024, Sri Mulyani memberi pesan bahwa PPN 12% tetap diberlakukan mulai 1 Januari 2025, walaupun kala itu banyak protes di masyarakat mengenai turunnya daya beli. Tetapi bagi Sri Mulyani, kenaikan PPN 12% merupakan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sejumlah pelaku usaha lantas menyesuaikan sistem pembayaran dengan PPN 12%. Namun di akhir tahun, 31 Desember 2024, Prabowo menyambangi kantor Sri Mulyani pada sore hari. Setelahnya Prabowo menyatakan PPN 12% hanya untuk barang mewah seperti hunian di atas Rp 30 miliar, jet pribadi, hingga kapal pesiar.
"Pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah," kata Prabowo di kantor Kemenkeu.
Gocekan pemerintah di akhir tahun membuat pelaku usaha kembali menyesuaikan dengan PPN 11%. Ditjen Pajak pun memberikan waktu 3 bulan bagi mereka.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Bhima memandang permasalahan PPN 12% disebabkan UU HPP yang disahkan pada 2021. Sri Mulyani merupakan Menkeu yang ikut membahas UU tersebut. Fatalnya, kata Bhima, UU itu mematok secara spesifik PPN 12% berlaku pada 2025. Asumsinya pada 2025 ekonomi membaik pasca-pandemi COVID-19 dan daya beli masyarakat menguat.
Padahal menurutnya, sebuah UU mengenai ekonomi tidak boleh mematok tarif yang spesifik. Setahun jelang penerapan PPN 12%, ekonomi justru tertekan, PHK terjadi di mana-mana, dan daya beli masyarakat menurun.
“Tidak boleh UU memperkirakan bahwa ekonomi asumsinya akan tinggi, apalagi soal pajak,” kata Bhima.
Menurutnya, justru Prabowo lebih mampu membaca kondisi ekonomi dibanding era pemerintahan sebelumnya. Prabowo disebut menyadari apabila PPN 12% dipaksakan justru bisa menurunkan rasio pajak dan semakin memukul industri maupun retail.
Trubus menilai kebijakan di tim ekonomi Prabowo belakangan lebih bernuansa uji coba atau testing the water. Padahal sedianya sebuah kebijakan publik harus berdasarkan kajian yang matang, sosialisasi menyeluruh, dan melalui proyek percontohan (pilot project) terlebih dahulu.
“Kebijakan publik tidak semata-mata aturan. Tapi bagaimana kebijakan memenuhi kebutuhan publik, itu yang sulit, karena itu perlu ilmu, perlu pakar, perlu ahli. Kalau cuma membuat kebijakan Pak RT juga bisa. Itu yang tidak disadari pemerintah. Seringkali menganggap kebijakan tinggal dibikin, [berharap] seolah lancar-lancar saja,” ucapnya.
Presiden Prabowo Subianto. Foto: YouTube/Sekretariat Presiden
Bhima dan Trubus berpandangan Prabowo perlu mengevaluasi para menteri yang kebijakannya justru menyulitkan publik. Apalagi Prabowo punya target pertumbuhan ekonomi 8%.
“Menteri siapa saja yang harus dievaluasi, bahkan berkinerja buruk dan perlu di-reshuffle itu sebagian besar adalah menteri bidang ekonomi. Menteri-menteri ekonomi ini sepertinya belum klop dengan visi-misi Presiden. Presiden tidak ingin membebani masyarakat, menteri-menterinya berlaku sebaliknya. Maka menteri yang tidak klop dengan visi-misi itu harusnya menjadi bahan evaluasi total,” jelas Bhima.
Sufmi Dasco pun mengakui memang ada menteri di kabinet Prabowo yang kurang seirama.
“100 hari pertama saya sudah beri peringatan berkali-kali sekarang siapa yang bandel, siapa yang dablek, siapa yang tidak mau ikut dengan aliran besar ini, dengan tuntutan rakyat, pemerintahan yang bersih, siapa tidak patuh, saya akan tindak,” tegas Prabowo.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten