Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Genjot Produksi Lokal, Kebijakan Dua Pasar Gula Diusulkan Dihapus
31 Maret 2018 13:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
![Ilustrasi petani tebu (Foto: Sarangib/Pixabay)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1484713153/gg1rfbgfqam1il7wqslt.jpg)
ADVERTISEMENT
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM menilai, pasar gula Indonesia yang dikategorikan menjadi dua jenis, yakni Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) berdampak pada kesejahteraan petani tebu yang berkurang.
ADVERTISEMENT
Sebab menurut Kepala PSEKP UGM, Tony Prasetiantono, tebu petani yang merupakan bahan baku gula wajib dijual ke pabrik gula yang dikelola BUMN. Kemudian tebu itu nantinya diolah untuk menjadi GKP.
“GKP ini dihasilkan oleh PTPN untuk dikonsumsi rumah tangga. Bahan bakunya dari tebu petani,” katanya kepada kumparan (kumparan.com), Sabtu (31/3).
Sementara itu, Tony menambahkan GKR diproduksi oleh pabrik gula modern swasta untuk kemudian didistribusikan ke sektor industri. Adapun bahan baku GKR ialah raw sugar atau gula mentah yang diperoleh dari impor. Dia menjelaskan, harga GKR jauh lebih murah ketimbang GKP.
“Terjadinya disparitas harga antara GKP dan GKR memunculkan fenomena rembesan gula. Adanya rembesan GKR ini betul-betul menekan harga GKP,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan riset PSEKP UGM, harga GKR yang tinggi disebabkan inefisiensi operasional pabrik gula yang dikelola PTPN. Menengok mayoritas mesin pemroses tebu menjadi gula berusia lebih dari 100 tahun, bahkan terdapat mesin yang berusia 184 tahun.
“Dengan adanya GKP dan GKR ini, petani jadi harus menjual tebu ke pabrik gula yang dikelola PTPN. Padahal pabrik gula swasta bisa membeli tebu petani dengan harga yang lebih tinggi,” jelas Tony.
Menurut dia, alasan pabrik gula swasta dapat membeli tebu petani dengan harga lebih tinggi lantaran operasional pabrik gula yang efisien. Hal tersebut tampak dari produksi gula yang pabrik gula swasta lebih tinggi dari produksi gula oleh pabrik gula PTPN.
![Gula (Foto: Pixabay)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1514610636/pdyznxlneplzq9cl8s7u.jpg)
Adapun produksi potensial per tahun dari 11 pabrik gula swasta yang ada di Indonesia berkisar di antara 3-4 juta metrik ton. Sementara produksi potensial per tahun dari 63 pabrik gula yang dikelola PTPN berkisar di antara 2,5-3 juta metrik ton.
ADVERTISEMENT
“Kebijakan dua pasar, GKP dan GKR, seharusnya dihapus karena pada dasarnya GKP dan GKR merupakan komoditas yang sama. Kalau ini dibiarkan, minat petani untuk menanam tebu akan semakin kecil. Sebaiknya penggolongan GKP dan GKR ini dihapus,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Bambang mengakui, pasar gula yang dikategorikan menjadi dua jenis memang tidak efisien. Semula, kebijakan tersebut dibuat untuk melindungi petani tebu dari impor raw sugar.
“Dulu ide pemisahan pasar gula itu dari Kementan, ide itu muncul untuk melindungi petani tebu lokal. Kami merekomendasikan agar dua pasar itu sekarang digabung menjadi satu pasar gula,” kata Bambang.