Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Fenomena greenflation atau inflasi hijau sempat menjadi sorotan usai debat pilpres 2024 keempat pada Minggu (21/1) lalu. Istilah tersebut ditanyakan Gibran Rakabuming Raka kepada Mahfud MD.
ADVERTISEMENT
Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB), mendefinisikan greenflation sebagai inflasi yang diakibatkan adanya transisi energi. Hal ini terjadi karena harga bahan mentah meningkat akibat adanya transisi ke energi hijau.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan greenflation juga bisa terjadi ketika ada kenaikan tarif dasar listrik imbas transisi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU ) menuju energi baru terbarukan (EBT).
Untuk mencegah kenaikan tarif dasar listrik yang akhirnya menyebabkan lonjakan inflasi, Bhima menilai pemerintah harus mengantisipasinya dengan ikut mengalihkan peruntukan subsidi energi. Adapun penyesuaian harga tarif listrik dilakukan setiap tiga bulan sekali.
"Sebenarnya kesalahan greenflation itu atau kenaikan harga listrik karena transisi energi salah satunya karena pengalihan subsidi yang tidak jelas. Jadi pengalihan subsidi dan operational loss dari oversupply (kelebihan pasokan)," jelasnya saat ditemui di Hotel Mercure Sabang, Kamis (25/1).
ADVERTISEMENT
Bhima menuturkan, pasokan listrik yang berhenti dari PLTU harus segera dialihkan kepada pembangkit EBT, sehingga tidak akan meningkatkan biaya produksi listrik yang membebani konsumen.
Pensiun dini (early retirement) PLTU, kata dia, akan menurunkan beban kelebihan pasokan (oversupply) yang kini dihadapi PT PLN (Persero). Selain itu, BUMN tersebut juga tidak lagi terbebani fluktuasi harga batu bara yang kerap terjadi.
"Terus juga dari sisi subsidi listrik dari negara bisa dihemat. Itu jangan sampai masuk ke pos yang tidak ada kaitannya dengan transisi energi, itu yang kita khawatirkan," tutur Bhima.
"Kecuali skenario pensiunnya dilakukan tapi insentif energi terbarukannya gak sebanyak insentif ke PLTU batu bara atau subsidi ke PLTU baru. Itu dikhawatirkan terjadi kenaikan tarif dasar listrik. Itu yang ditakutkan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Bhima berharap keekonomian listrik dari pembangkit EBT semakin murah dengan kemajuan teknologi dan economy of scale alias meningkatnya jumlah produksi.
"Semakin banyak produsen dari energi terbarukan komponennya, dulu surya mahal, enggak efektif, enggak efisien. Semakin lama makin banyak pemain turun, dan turunnya cukup lumayan," jelasnya.
Dengan demikian, dia menilai konsumen tidak perlu khawatir lagi dengan potensi kenaikan tarif listrik karena pergeseran menuju pembangkit yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, Bhima juga mengajukan skenario yang lebih ekstrem yaitu masyarakat bergantung pada pembangkit listrik sendiri dan bersifat off grid, alias tidak berhubungan dengan transmisi PLN.
"Jadi konsumen, instead dia bayar terus tagihan listrik ke PLN. Dia bebas merdeka. Karena dia punya pembangkit sendiri. Bahkan dia bisa jual listriknya ke PLN dan dapat untung," ungkap Bhima.
ADVERTISEMENT