Greenpeace Dorong Pemerintah Hapus Bensin Premium

11 Mei 2018 17:01 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyambutan kapal Rainbow Warrior Greenpeace. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penyambutan kapal Rainbow Warrior Greenpeace. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
LSM global di bidang lingkungan, Greenpeace, melalui perwakilannya di Indonesia mendorong pemerintah menghapus bensin jenis Premium. Hampir semua negara di dunia sudah menghapus peredaran bensin beroktan 88 sekelas Premium.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah harusnya menghapus Premim, bukannya memberi peluang bagi masyarakat untuk kembali menggunakan bahan bakar minyak (BBM) beroktan 88 tersebut," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (11/5).
Seperti diketahui, pemerintah memerintahkan PT Pertamina (Persero) memasok Premium sesuai kebutuhan masyarakat. Bahkan Premium yang mengacu pada Perpres Nomor 191 tahun 2014, merupakan BBM penugasan Pertamina untuk wilayah di luar Jawa-Madura dan Bali (Jamali), akan dikembalikan menjadi penugasan di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Jamali.
"Kebijakan tersebut akan berdampak negatif. Karena tidak hanya merusak mesin kendaraan bermotor, namun juga semakin memperburuk kondisi udara," kata Bondan.
Ilustrasi Premium langka. (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Premium langka. (Foto: Brian Hikari Janna/kumparan)
Untuk mesin kendaraan bermotor misalnya, menurut dia, hampir seluruh produk industri otomotif diperuntukkan bagi BBM dengan RON tinggi, yaitu seri Pertamax atau setidaknya Pertalite. Jika dipaksa menggunakan Premium, dia menilai akan mengakibatkan pembakaran tidak sempurna dan merusak mesin kendaraan.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, hasil pembakaran yang tidak sempurna tersebut akan menghasilkan emisi karbon yang memperburuk kualitas udara. "Tentu saja mengkhawatirkan, apalagi Jakarta sudah berada pada sepuluh besar kota dengan udara terburuk di dunia," katanya.
Dia menambahkan, pada 2 Mei 2018, World Health Organization (WHO) merilis bahwa polusi udara menjadi salah satu penyebab penyakit. "Jadi 9 dari 10 kematian di dunia erat kaitannya dengan polusi udara," tandasnya.
"Itu sebabnya, penghapusan Premium tidak bisa ditawar lagi. Pemerintah seharusnya memiliki roadmap yang jelas tentang kebijakan energi," katanya.