Gula Mahal, Pedagang Jus Buah hingga Martabak Naikkan Harga

10 Agustus 2023 20:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gula pasir. Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gula pasir. Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
ADVERTISEMENT
Pemerintah resmi menaikkan Harga Acuan Pembelian (HAP) gula konsumsi di tingkat produsen maupun konsumen. Hal ini sesuai dengan Peraturan Badan Pangan Nasional atau Perbadan Nomor 17 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
HAP gula konsumsi terbaru diterapkan Rp 12.500 per kg di tingkat produsen dan di tingkat konsumen sebesar Rp 14.500 per kg. Selain itu, harga Rp 15.500 per kg khusus untuk Indonesia Timur dan daerah Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan (3TP).
Pedagang jus buah di Jl Poltangan Pasar Minggu Jakarta Selatan, Fajar mengatakan harga gula yang naik membuatnya menaikkan harga dagangannya.
Dirinya membeli gula berupa gula cair. Dalam sehari kebutuhannya bisa sampai 7,5 liter. Dia mengaku beberapa hari yang lalu harga gula masih Rp 70 ribu per 5 liter, kini naik menjadi Rp 80 ribu per 5 liter.
"Harganya naik gara-gara gula. Jus sirsak, semangka, jambu, awalnya saya jual Rp 8.000, sekarang Rp 10.000," kata dia saat berbincang dengan kumparan, Kamis (10/8).
Ilustrasi pedagang martabak. Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Sedangkan kenaikan harga gula konsumsi tak signifikan berpengaruh bagi pedagang martabak, kata Hendar, pria asal Tegal yang 5 tahun merantau di Jakarta berdagang martabak manis. Kebutuhannya pun kecil hanya 1 kg gula per hari.
ADVERTISEMENT
"Kenaikan gula belum ada info, yang di pasar belum ngomong. Terakhir saya beli lupa berapa, sekitar Rp 14.500 ada," ucap Hendar.
Sementara, pedagang eceran di warung kelontong dibuat pusing dengan naiknya harga gula konsumsi ini. Kata Alam, pedagang kelontong di Poltangan Pasar Minggu, terakhir kali dia beli gula per sak dihargai Rp 685 ribu, sebelum dapat info kalau gula konsumsi naik.
"Itu kalau dibagi 50 kg satu saknya, jadi Rp 13.700 per kg. Kalau naik Rp 14.500 per kg, kasihan pembeli saya, karena kan saya ambil untung jualan juga. Kalau saya beli Rp 14.500, saya jualnya Rp 15.000," kata Alam.
Sementara, Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni mengaku pedagang warteg kini serba sulit menyusul keputusan pemerintah menaikkan HAP gula konsumsi di tingkat konsumen.
ADVERTISEMENT
Mukroni tak sepakat keputusan itu tepat bila dalihnya adalah daya beli konsumen sudah pulih. "Kurang sependapat, mengingat kondisi daya beli belum pulih sepenuhnya di kalangan kelas masyarakat bawah, sementara harga-harga merangkak naik. Ayam, beras, telur dan lainnya," kata Mukroni.
Mukroni mengatakan kebutuhan gula bagi pedagang warteg tidak kecil, selain untuk minuman gula juga digunakan sebagai bumbu masak. Pedagang warteg juga tidak bisa serta merta menaikkan harga dagangan mereka meski harga bahan pangan naik.
"Masalahnya sekarang warteg masih sepi. Kalau harga dinaikkan, pelanggan pada kabur. Yang bisa dilakukan takarannya, untuk biasanya misalnya dua sendok, dikurangi satu sendok atau satu setengahnya," kata dia.
Mukroni menilai, daya beli konsumen mungkin naik tapi hanya daya beli kalangan masyarakat menengah. Ada golongan masyarakat yang masih kesulitan ekonomi. "Kelas bawah seperti buruh serabutan, ojol, supir angkot, pedagang asongan, belum pulih," pungkas dia.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi sebelumnya mengatakan, kenaikan HAP gula konsumsi ini merupakan penyesuaian guna mencapai keseimbangan harga di tingkat produsen, pedagang, dan konsumen. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo agar kewajaran harga di tiga lini tersebut tetap terjaga sesuai harga keekonomian saat ini.
Kenaikan harga acuan sebesar Rp 1.000 per kg tersebut telah melalui pembahasan dan diskusi serta masukan dari berbagai stakeholder pergulaan, termasuk para undangan yang hadir dalam sosialisasi kali ini.
“Regulasi yang kita keluarkan tentunya telah mendapat masukan dari berbagai pihak. Kenaikan harga acuan hari ini berdasarkan kondisi yang kita hadapi sesuai dengan perhitungan Biaya Pokok Produksi yang mempertimbangkan kenaikan harga pupuk, benih, tenaga kerja, dan ongkos distribusi yang harus dikeluarkan,” ujar Arief dalam keterangannya, Rabu (9/8).
ADVERTISEMENT