Gunung Emas Blok Wabu Diributkan Luhut & Haris Azhar, Siapa Berhak Menguasainya?

27 September 2021 16:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tiba di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (27/9/2021). Foto: Reno Esnir/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tiba di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (27/9/2021). Foto: Reno Esnir/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Blok Wabu tengah mendapat sorotan karena disebut-sebut dalam konflik Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan dengan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, yang berujung laporan ke polisi.
ADVERTISEMENT
Fatia dalam unggahan video yang berjudul “Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” di channel Youtube Haris Azhar menyebut PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtra Group dimiliki sahamnya oleh Luhut, bermain dalam bisnis tambang di Papua, yakni di Blok Wabu.
Memiliki potensi sumber daya emas 8,1 juta troy ounce, gunung emas di Kabupaten Intan Jaya memiliki 'harta karun' senilai USD 14,289 triliun atau sekitar Rp 207,19 triliun dengan asumsi harga emas USD 1.764,1 per troy ounce dan kurs dolar Rp 14.500.
Direktur Lokataru, Haris Azhar saat tiba di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/2). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Meski demikian, hingga saat ini belum diketahui siapa yang akan mengelola gunung emas berharta karun Rp 207,19 triliun itu. Freeport secara resmi telah mengembalikan wilayah ini kepada pemerintah pada 2018 karena ingin fokus di Grasberg.
ADVERTISEMENT
Pada 2020 lalu, PT Aneka Tambang Tbk atau Antam pernah diminta Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengelola Blok Wabu. Antam juga telah menyatakan kesiapannya. Namun setelah itu tak ada kabar. Sampai saat ini Blok Wabu belum bertuan. Ada pihak-pihak yang khawatir nantinya Blok Wabu malah diserahkan ke swasta.
Terkait hal ini, pakar hukum pertambangan Ahmad Redi menjelaskan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang merupakan hasil revisi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 telah mengatur bahwa Blok Wabu harus diprioritaskan untuk BUMN. Baik UU Minerba hasil revisi maupun UU Minerba tahun 2009, semuanya memberi prioritas kepada BUMN.
Dalam pasal 171 A di UU Nomor 3 Tahun 2020, disebutkan bahwa wilayah hasil penciutan Kontrak Karya (KK) dapat ditetapkan oleh Menteri ESDM menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
ADVERTISEMENT
"Di UU Minerba baru diatur dalam pasal 171 A, mengenai penciutan wilayah eks KK dan PKP2B. Jadi wilayah eks KK dan PKP2B itu dapat ditetapkan menjadi WIUPK atau WPN. WIUPK maupun WPN itu dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 maupun UU Nomor 3 Tahun 2020, prioritasnya untuk BUMN," kata Redi saat dihubungi kumparan, Senin (27/9).
Ilustrasi emas. Foto: Shutter Stock
WPN tidak untuk dikomersialkan, hanya untuk pencadangan komoditas tertentu dan konservasi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Maka Blok Wabu harus ditetapkan sebagai WIUPK jika ingin digarap.
Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020 pasal 75 ayat 3, BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
"Untuk penetapan wilayah (Blok Wabu) sampai sekarang belum clear apakah WPN atau WIUPK. Tapi prioritas WIUPK untuk BUMN tidak bisa dinegasikan," tegas Redi.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, perusahaan swasta baru boleh mengelola Blok Wabu jika BUMN dan BUMD tidak berminat. Itu pun harus melalui proses lelang terbuka. Tidak bisa lewat penunjukkan langsung. Demikian diatur dalam pasal 75 ayat 3, 4, dan 5 UU Nomor 3 Tahun 2020.
"Kalau BUMN tidak mau ditawarkan ke BUMD. BUMD tidak mau, baru ditawarkan ke swasta. Swasta pun harus lewat lelang. Tidak bisa ujug-ujug ditunjuk pihak tertentu," paparnya.
Ilustrasi Tambang. Foto: Shutter Stock
Namun bukan berarti pintu untuk swasta tertutup sama sekali ketika BUMN atau BUMD sudah memperoleh IUPK. Jika diserahi Blok Wabu, BUMN atau BUMD boleh saja bermitra dengan swasta lewat skema perusahaan patungan (Joint Venture).
"Bisa saja skemanya Joint Venture, membentuk anak usaha dan mengajak pihak lain dengan kepemilikan saham mayoritas tetap di BUMN. Jadi UU tidak melarang. Itu sah-sah saja," tutup Redi.
ADVERTISEMENT