Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Laba bersih PT PGN (Persero) sepanjang 2019 anjlok 77 persen menjadi USD 67,58 juta dari tahun sebelumnya USD 304,99 juta. Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban menyebut beberapa kasus yang terjadi di tahun lalu menjadi penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Kasus pertama, terganggunya pasokan gas bumi di pipa transmisi Kepodang-Tambak Lorok atau pipa Kalimantan-Jawa I (Kalija I) karena Lapangan Kepodang berhenti beroperasi pada September 2019.
Padahal, dalam Plan of Development (POD), Lapangan Kepodang rencananya memproduksi gas dan memasok ke PLTGU Tambak Lorok lewat pipa Kalija I sampai 2026.
Lapangan Kepodang terletak di Blok Muriah. Hak kelolanya atau participating interest (PI) dipegang 80 persen oleh Petronas dari Malaysia.
Sementara 20 persennya oleh PT Saka Energi yang merupakan anak usaha PGN. Pasokan gas yang habis sebelum waktunya ini membuat nilai aset PGN di proyek ini turun (impairment).
"Nah pipa ini menghubungkan Blok Muriah dengan PLN. Blok Muriah ini 23 September 2019 berhenti beroperasi sehingga pipa ini secara accounting harus di-impairment karena carrying value dan recover value lebih tinggi nilai bukunya. Jadi impairment sekitar USD 98 juta," kata Kaban dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (6/7).
ADVERTISEMENT
Perusahaan pun sudah menggugat Petronas Carigali di Singapura sejak 2019 melalui arbitrase internasional. Kata Kaban, kesempatan PGN menang melawan Petronas 70 persen.
Penyebab kedua laba perusahaan anjlok karena terkait provisi pajak usai Saka Energi mengakuisisi Blok Pangkah pada 2014-2015 dari HES. Proses akuisisi dilakukan 3 kali, yakni 65 persen, 25 persen, 10 persen PI yang dialihkan.
Dalam proses ini, ternyata ada sengketa pajak. Saka Energi dianggap belum memenuhi kewajiban profit brand tax. Kasus ini pun dibawa ke pengadilan pajak.
Dalam proses pengadilan, ada tiga kasus sengketa. Pertama, senilai USD 127 juta terkait akuisisi 65 persen, USD 39 juta akuisisi 25 persen, dan USD 10 juta terkait akusisi 10 persen.
"Di pengadilan pajak, kami menang 2 dan kalah 1. Putusan 2019 USD 227 juta PGN kalah. Karena sudah ada putusan, walaupun tagihan belum ada, diskusi dengan auditor kita, diputuskan kita harus provisi di 2019. Jadi dua itu yang membuat faktor utama penurunan net income 2019, impairment dan provisi Saka," katanya.
ADVERTISEMENT
Untuk kinerja operasional PGN, terutama penjualan gas tidak ada penurunan sepanjang tahun lalu. Penurunan terjadi justru saat ini sebanyak 17 persen karena banyak industri yang tidak beroperasi akibat pandemi.
Tahun lalu, niaga gas PGN justru naik 3 persen. Tapi, dia mengakui jika lifting gas dari Saka Energi turun hingga 28 persen dibandingkan 2018.
Sedangkan dari sisi kurs rupiah terhadap dolar AS dalam keuangan PGN tahun lalu justru bagus dibandingkan tahun ini. Menurut Kaban, saat penutupan 31 Desember 2019, harga saham PGN Rp 2.170 per lembar dengan kapital market Rp 52,6 triliun. Sedangkan per Juni 2020, turun signifikan menjadi Rp 1.135 per lembar dengan kapital market Rp 27,5 triliun.
Kaban mengatakan, rugi selisih kurs ini sudah diatasi PGN dengan melakukan hedging. Jadi, kerugian kurs terjadi karena transaksi non cash item karena dalam perjanjian jual beli gas dengan vendor sudah mengikat dalam kurs dolar.
ADVERTISEMENT
"Jadi pelanggan kita itu dia akan membayar dengan dolar sesuai. Kalau ada fluktuasi perubahan dolar, tidak akan berpengaruh," ujarnya.
Adapun penurunan rating S&P kepada PGN dari BBB menjadi BBB- menurutnya terjadi bukan karena kinerja keuangan, tapi karena pengaruh kebijakan yang diambil pemerintah dalam makro ekonomi nasional.
"Memang cost of fund bond akan mahal. Tapi kami ada rencana liability manajemen. Harapannya dengan penurunan bond kita itu murah di pasar. Ternyata enggak ada korelasi dengan penurunan rating, justru harga bond kita di atas separuh," ujarnya.