Harga Komoditas: Minyak Mentah-Nikel Anjlok, Batu Bara Naik Tipis

10 Juli 2024 8:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kilang minyak di tengah laut. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kilang minyak di tengah laut. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Harga minyak mentah turun pada Selasa (9/7), setelah para pedagang mengetahui gangguan pasokan berkepanjangan akibat Badai Beryl tidak mungkin terjadi, setelah pusat produksi minyak AS di Texas mengalami kerusakan akibat badai tidak terlalu mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Reuters, minyak mentah berjangka Brent menetap pada USD 84,66 per barel, turun 1,3 persen. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menetap pada USD 81,41 per barel, turun 1,1 persen.
Batu Bara
Sedangkan harga batu bara naik tipis pada penutupan perdagangan Selasa. Harga batu bara berdasarkan situs tradingeconomics naik 0,15 persen dan menetap di 135.25 per ton.
Harga batu bara Newcastle berjangka sedikit rebound dari posisi terendah dalam dua bulan, menyusul kebakaran bawah tanah di sebuah tambang batubara Australia. Gangguan rantai pasokan lebih lanjut termasuk hujan lebat di Indonesia dan pencurian kereta api di Afrika Selatan.
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
Sementara itu, India, konsumen batu bara terbesar kedua di dunia, mengalami rekor permintaan listrik tertinggi di wilayah utara akibat gelombang panas yang terus terjadi. Selain itu, AS telah memperluas sanksi terhadap industri batu bara Rusia.
ADVERTISEMENT
CPO
Harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menurun pada penutupan perdagangan Selasa. Berdasarkan situs tradingeconomics, harga CPO merosot 2,03 persen menjadi MYR 3.958 per ton.
Minyak sawit berjangka Malaysia anjlok menjadi kisaran MYR 3.900 per ton, di tengah melemahnya minyak kedelai saingannya di pasar CBoT setelah hasil panen kedelai AS yang lebih baik dari perkiraan. Sementara itu, kehati-hatian meningkat menjelang data ekspor dan produksi bulanan pada akhir pekan ini.
Angka dari surveyor kargo mencatat ekspor merosot antara 11,8 hingga 15,4 persen pada bulan lalu karena beberapa masalah pengiriman. Selain itu, perkiraan pembelian minyak sawit India pada Juli dapat meningkat menjadi 850.000 metrik ton menjelang hari raya mendatang. Pada bulan Juni, pembelian dari impor minyak sawit terbesar di dunia naik 3 persen sebesar 788.000 ton.
ADVERTISEMENT
Nikel
Adapun harga nikel terpantau merosot pada penutupan perdagangan Selasa. Harga nikel berdasarkan situs tradingeconomics melemah 1,85 persen menjadi USD 17.149 per ton.
Nikel kembali merosot karena dana investasi melikuidasi posisi buy di tengah menguatnya dolar AS dan lemahnya data manufaktur dari China. Terhentinya produksi di Kaledonia Baru, dan potensi penghentian izin di Indonesia, harga Nikel turun tajam.
Para analis memperkirakan tantangan yang sedang berlangsung akibat kelebihan pasokan pasar, memperkirakan total stok nikel primer akan mencapai level tertinggi dalam empat tahun pada tahun 2024, sehingga membatasi pemulihan harga yang signifikan pada Mei lalu menembus USD 21.000 per ton.
Timah
Sementara itu, harga timah juga terpantau mengalami penurunan pada penutupan perdagangan Selasa. Berdasarkan London Metal Exchange (LME), harga timah turun tipis 0,38 persen menjadi USD 34.350 per ton.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan tradingeconomics, harga timah berjangka mengikuti kenaikan logam dasar utama karena stimulus permintaan di China. Perbedaan antara PMI manufaktur resmi dan PMI manufaktur Caixin di China, konsumen timah terbesar dunia, menggarisbawahi ketergantungan pada pasar ekspor. Hal ini meningkatkan ekspektasi China akan mengumumkan langkah-langkah stimulus yang konkrit untuk meningkatkan permintaan domestik menjelang Sidang Pleno Ketiga pemerintah.
Sementara itu, eksportir utama Indonesia masih tetap khawatir ketatnya pasokan karena penundaan perizinan berdampak besar pada pengiriman pada kuartal pertama, yang diperburuk oleh kekhawatiran gangguan perizinan di sisa tahun ini. Hal ini memperburuk kemunduran produksi sebelumnya, yang utamanya disebabkan oleh gangguan pertambangan di Negara Bagian Wa, Myanmar karena perang yang terjadi di negara tersebut.
ADVERTISEMENT