Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Emiten di sektor tambang hingga sawit berpeluang meraup cuan tahun ini karena pergerakan harga komoditas di pasar global mulai merangkak naik. PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) hingga PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) masuk daftar saham komoditas energi yang prospektif.
ADVERTISEMENT
Analis saham Indo Premier Sekuritas, Mino, mengatakan tren kenaikan harga komoditas diprediksi akan bertahan jangka panjang. Jadi, akan ada pengaruhnya juga ke harga saham emiten-emiten tersebut di dalam negeri.
"Untuk tahun ini seiring dengan proyeksi pemulihan ekonomi global permintaan komoditas juga diprediksi naik sehingga kinerja fundamental dan pergerakan harga sahamnya akan lebih baik di tahun ini," kata Mino saat dihubungi kumparan, Kamis (14/1).
Di sektor tambang, harga batu bara global untuk ICE NewCastle per Rabu (13/1) sebesar USD 87,30 per ton atau naik 0,92 persen berdasarkan barchart.com. Padahal, dalam rentang 6 bulan, pada Agustus 2020 lalu harganya sempat anjlok hingga ke USD 52,91 per ton.
Untuk harga komoditas minyak mentah, pada Oktober lalu pernah anjlok menjadi USD 37,16 per barel. Kini, harganya sudah di level USD 56,58 per barel.
ADVERTISEMENT
Sedangkan komoditas sawit, harganya juga terus naik. Per hari ini, mengacu pada Bursa Malaysia Derivatives, mencapai MYR 3.880, sedangkan di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX) sebesar Rp 13.345.
Lalu bagaimana prospeknya ke harga saham emiten tambang hingga sawit?
Pengamat pasar modal Lucky Bayu Purnomo mengatakan, dengan merangkaknya harga jual komoditas batu bara, emas, hingga sawit saat ini bakal membuat saham seperti ADRO, PTBA, hingga AALI melambung.
Di sektor tambang batu bara, saham ADRO selama enam bulan juga terus melambung. Pada Juli 2020, harga sahamnya di level Rp 995, memasuki akhir tahun naik lagi menjadi sekitar Rp 1.378. Sedangkan hingga pukul 12:00 WIB, harganya menyentuh Rp 1.505.
"Kalau kita perhatikan emiten di mining mayoritas memiliki potensial up side cukup baik. Mulai dari ADRO, saat ini berada di angka Rp 1.510. Sementara antara tertinggi 1.600. Artinya ADRO bisa menguji level di situ," kata Lucky saat dihubungi kumparan.
Emiten lain di tambang batu bara yang prospektif adalah PTBA. Pergerakan saham BUMN tambang selama enam bulan terakhir terus merangkak. Pada Juli 2020 lalu, harganya berada di kisaran Rp 2.111, kini harganya di atas Rp 3.000. Sedangkan hari ini, hingga pukul 12:00 WIB tadi, harga saham PTBA bertengger di Rp 3.060 atau naik 20 poin.
ADVERTISEMENT
Di sektor tambang emas, harga saham ANTM dalam rentang 6 bulan lalu, naik tajam. Pada Juli 2020, harganya berada di Rp 600. Namun, memasuki November harganya kian melambung hingga di atas Rp 1.000. Dan kini, pada pukul 12:00 WIB, saham ANTM tercatat bertengger di Rp 3.350.
"Antam sendiri juga sangat dekat dengan harga tertinggi. Artinya ke depan sektor mining masih peroleh apresiasi yang sangat baik," ujar Lucky.
Untuk saham sawit, ada AALI dan LSIP yang juga kian kinclong. Selama enam bulan terakhir, saham AALI kian pasti naik dari Rp 8.225 per Juli 2020 hingga siang ini bertengger di Rp 12.425.
Begitu pun saham LSIP atau PP London Sumatra Indonesia Tbk. Selama enam bulan terakhir, sahamnya terus naik. Pada Juli 2020, tercatat di level Rp 830, hingga siang ini menyentuh Rp 1.395.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, saham di sektor hulu dan hilir migas mesti diwaspadai seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), dan PT Elnusa Tbk (ELSA).
Menurut Lucky, sentimen positif ketiga emiten ini belum cukup besar karena apresiasi pasar lebih memilih kinerja komoditas berbasis kontrak jangka pendek daripada kontrak jangka panjang. Sementara kinerja jangka panjang menguatnya masih terbatas karena pengaruh global.
"Misalnya apa kebijakan Presiden AS terpilih Joe Biden pada anggota OPEC. Lalu, bagaimana situasi saat ini konsumsi minyak turun karena permintaan landai. Jadi pelaku pasar lebih memperhatikan kontrak jangka pendek. Karena itu MEDC, PGAS, ELSA mungkin bisa dihindari dulu," kata Lucky.