Harga Komoditas: Timah Anjlok, Minyak Mentah-Nikel Stagnan

19 Juli 2024 8:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Unit Metalurgi Muntok, smelter pengolahan timah PT Timah Tbk.
 Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Unit Metalurgi Muntok, smelter pengolahan timah PT Timah Tbk. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Harga minyak mentah stabil pada Kamis (18/7), karena investor bergulat dengan sinyal beragam mengenai permintaan minyak mentah, dengan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi di AS dan meningkatnya ekspektasi The Fed akan segera menurunkan suku bunga.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Reuters, Brent berjangka menetap di USD 85,11 per barel, naik 3 sen, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 3 sen menetap di USD 82,82 per barel.

Batu Bara

Sedangkan harga batu bara naik tipis pada penutupan perdagangan Kamis. Harga batu bara berdasarkan situs tradingeconomics naik 0,19 persen dan menetap di USD 135 per ton.
Harga batu bara Newcastle berjangka dipengaruhi pangsa pembangkit listrik tenaga batu bara di China mencapai rekor terendah sebesar 53 persen pada Mei. Selain itu, China tidak menyetujui proyek pembuatan baja berbasis batu bara pada paruh pertama tahun ini.
Sebaliknya, pembangkit listrik tenaga batu bara di AS diproyeksikan meningkat pada tahun ini dan pada tahun 2025, dibandingkan dengan tahun 2023 karena tingginya harga gas alam.
ADVERTISEMENT

CPO

Harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) juga stabil pada penutupan perdagangan Kamis. Berdasarkan situs tradingeconomics, harga CPO menguat 0,10 persen menjadi MYR 3.938 per ton.
Minyak sawit berjangka Malaysia stabil di tengah melemahnya minyak kedelai saingannya di pasar CBoT setelah hasil panen kedelai AS yang lebih baik dari perkiraan. Sementara itu, kehati-hatian meningkat menjelang data ekspor dan produksi bulanan pada akhir pekan ini.
Angka dari surveyor kargo mencatat ekspor merosot antara 11,8 hingga 15,4 persen pada bulan lalu karena beberapa masalah pengiriman. Selain itu, perkiraan pembelian minyak sawit India pada Juli dapat meningkat menjadi 850.000 metrik ton menjelang hari raya mendatang. Pada bulan Juni, pembelian dari impor minyak sawit terbesar di dunia naik 3 persen sebesar 788.000 ton.
Ilustrasi Tambang Nikel Indonesia Foto: Masmikha/Shutterstock

Nikel

Adapun harga nikel terpantau cenderung stagnan pada penutupan perdagangan Kamis. Harga nikel berdasarkan situs tradingeconomics sedikit naik 0,07 persen menjadi USD 16.469 per ton.
ADVERTISEMENT
Nikel kembali merosot di tengah penguatan dolar AS dan lemahnya data manufaktur China. Meskipun terjadi kondisi bullish seperti penurunan suku bunga Bank Sentral Eropa, terhentinya produksi di Kaledonia Baru, dan potensi penghentian izin di Indonesia, harga Nikel turun tajam.
Para analis memperkirakan tantangan yang sedang berlangsung akibat kelebihan pasokan pasar, memperkirakan total stok nikel primer akan mencapai level tertinggi dalam empat tahun pada tahun 2024, sehingga membatasi pemulihan harga yang signifikan hingga sisa tahun ini.

Timah

Sementara itu, harga timah terpantau mengalami penurunan pada penutupan perdagangan Kamis. Berdasarkan London Metal Exchange (LME), harga timah merosot 4,08 persen menjadi USD 31.604 per ton.
Harga timah berjangka mengikuti kenaikan logam dasar utama karena stimulus permintaan di China. Perbedaan antara PMI manufaktur resmi dan PMI manufaktur Caixin di China, konsumen timah terbesar dunia, menggarisbawahi ketergantungan pada pasar ekspor. Hal ini meningkatkan ekspektasi China akan mengumumkan langkah-langkah stimulus yang konkret untuk meningkatkan permintaan domestik menjelang Sidang Pleno Ketiga pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, eksportir utama Indonesia masih tetap khawatir ketatnya pasokan karena penundaan perizinan berdampak besar pada pengiriman pada kuartal pertama, yang diperburuk oleh kekhawatiran gangguan perizinan di sisa tahun ini. Hal ini memperburuk kemunduran produksi sebelumnya, yang utamanya disebabkan oleh gangguan pertambangan di Negara Bagian Wa, Myanmar karena perang yang terjadi di negara tersebut