Harga Minyak, Gas, dan Batu Bara Kompak Meroket

13 Oktober 2021 8:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah kapal tongkang pengangkut batubara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah kapal tongkang pengangkut batubara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Harga minyak mentah, gas bumi, dan batu bara kompak meroket akhir-akhir ini di pasar global. Mengutip data Trading Economics, Rabu (13/10) pukul 08.00 WIB, harga minyak mentah jenis WTI tembus USD 80,46 per barel dan jenis Brent USD 83,1 per barel.
ADVERTISEMENT
Meski masing-masing turun tipis 0,22 persen dan 0,29 persen seharian, namun merupakan harga tertinggi sejak 2014 atau 7 tahun lalu. Terakhir kali harga minyak di atas USD 80 per barel adalah pada Oktober 2017. Dalam setahun terakhir, harga minyak sudah naik lebih dari 60 persen
Sementara harga gas bumi, dalam data yang sama, mencapai USD 5,41 per MMBtu atau turun 0,094 persen dalam sehari. Dalam setahun terakhir, harga gas meningkat hingga 113,15 persen alias lebih dari 2 kali lipat.
Sedangkan harga batu bara meroket kini berada di USD 242,35 per metrik ton. Dalam sebulan, harga batu bara sudah loncat 36,54 persen. Jika dibanding setahun lalu, harga sudah meroket 201,06 persen alias lebih dari 3 kali lipat.
ADVERTISEMENT
Para pebisnis komoditas ini di dalam negeri pun ketiban cuan. Mereka makin kaya karena kenaikan harganya gila-gilaan, mulai dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno hingga suami Ketua DPR RI Puan Maharani yaitu Hapsoro Sukmonohadi.

Kebutuhan Meningkat dan Renggangnya China-Australia Jadi Penyebab

Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar ikut bersuara mengenai hal ini. Menurutnya, harapan akan terkendalinya pandemi COVID-19 di tahun 2021 telah menimbulkan optimisme para pelaku ekonomi untuk mulai berinvestasi dan beraktivitas. Hal ini mengakibatkan kebutuhan energi menjadi lebih tinggi.
Energi terbarukan di Eropa belum mampu mengimbangi lonjakan kebutuhan energi di tahun 2021. Selain butuh waktu untuk membangunnya, juga ketersedian energi yang dibangkitkan tidak bisa stabil, terutama yang berasal dari angin dan matahari.
Mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar terlihat di Kementerian ESDM, Selasa (22/10/2019). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Pembangkit batu bara yang selama pandemi sudah dikurangi adalah jawaban yang dicari oleh pelaku bisnis untuk dihidupkan kembali. Selain lebih murah dan sudah terbangun, tidak sulit untuk mengaktifkan PLTU yang baru sekitar beberapa tahun tidak beroperasi.
ADVERTISEMENT
Namun, terjadinya perang dagang antara China dan Australia mengakibatkan suplai batu bara dari Australia ke China terganggu. Dengan kebutuhan energi China yang 64 persen berasal dari batu bara, maka China mencari batu bara dari negara produsen seperti Indonesia dan Rusia.
"Persaingan antara Eropa dan China terhadap kebutuhan batu bara disambut oleh negara produsen dengan menaikkan produksi. Namun, tidak mudah untuk menaikkan produksi batu bara secara cepat. Selain banyak tambang yang sudah tidak beroperasi selama pandemi, juga investasi di bidang tambang batu bara semakin tidak mendapat tempat. Kenaikan kebutuhan batu bara yang lebih cepat daripada kemampuan produksi ternyata berakibat fatal terhadap harga," papar Arcandra seperti dikutip dari akun Instagram pribadinya, Selasa (5/10).
ADVERTISEMENT

Krisis Energi di China dan Eropa, Imbas Transisi ke EBT

Tingginya harga minyak, gas, dan batu bara juga dipengaruhi oleh krisis energi di China dan Eropa. Akibatnya permintaan meningkat.
Mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengungkapkan, krisis energi itu terjadi bukan semata karena kekurangan kemampuan pasokan dunia. Jumlah produsen batu bara maupun gas masih banyak, begitu juga dengan cadangannya.
Penyebab utama krisis energi ini, menurut Rudi, adalah transisi energi yang terlalu gegabah tanpa perhitungan matang. Perusahaan-perusahaan raksasa energi fosil berbondong-bondong lari ke energi baru terbarukan. Investasi untuk energi fosil dipangkas.
Ilustrasi Blok Rokan. Foto: Pertamina
Pada awal pandemi COVID-19, permintaan energi memang anjlok. Harga energi fosil, terutama minyak bumi, terjun bebas. Kini kebutuhan kembali meningkat karena industri-industri kembali beraktivitas. Pasokan dari energi baru terbarukan ternyata belum mampu mengimbangi lonjakan kebutuhan industri.
ADVERTISEMENT
"Industri sudah mulai melakukan kegiatan, namun masih di bawah permintaan sebelum COVID-19, sehingga tidak bisa dikaitkan secara mutlak penyebab krisis energi adalah mulai bangkitnya industri. Begitu gegap gempitanya jargon Energy Transition seolah besok akan terjadi penggantian energi fosil dengan EBT, padahal secara dunia tidak kurang dari 70 persen masih dipasok dari energi fosil, sementara di Indonesia masih pada kisaran 85 persen," papar Rudi dalam keterangan yang diterima kumparan, Jumat (8/10).
Rudi menilai, pengembangan energi baru terbarukan perlu persiapan panjang. Energi fosil masih sangat dibutuhkan saat ini. Pasokan energi fosil telah dikurangi, padahal energi baru terbarukan belum dapat menutupinya.
Menurut Rudi, China dan Eropa terlalu percaya diri dalam mengambil langkah pengurangan pasokan energi fosil untuk beralih ke energi baru terbarukan. Dampaknya terasa saat ini. Ketika ekonomi sedikit saja menggeliat, langsung terjadi perebutan pasokan energi.
ADVERTISEMENT