Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Harga Premium Naik Atau Tidak, Risikonya Sama-sama Besar buat Jokowi
11 Oktober 2018 13:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo ), Sutrisno Iwantono, berpendapat bahwa sebenarnya harga Premium naik atau tidak sama-sama berisiko besar. Karena itu, pemerintah dalam posisi serba salah.
Kalau harga Premium naik, pasti memberatkan dunia usaha dan masyarakat. Kenaikan harga Premium akan diikuti peningkatan biaya produksi dan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Apalagi di tahun politik, kenaikan harga Premium dikhawatirkan mempengaruhi elektabilitas Jokowi.
"Kenaikan harga BBM tentu memberatkan dunia usaha dan ekonomi secara keseluruhan. Biaya produksi barang-barang naik, beban rakyat berat," kata Iwantono kepada kumparan, Kamis (11/10).
Namun tidak menaikkan harga Premium juga bukan kebijakan yang baik. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) bakal makin membengkak dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin melemah. Sebenarnya ada cukup alasan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
"Harga minyak dunia kan lagi naik signifikan, kita net importir minyak. Kenaikan itu membuat subsidi membengkak dan menjadi salah satu penyebab defisit transaksi berjalan. Sebenarnya salah satu cara mengurangi defisit itu adalah dengan kenaikan harga BBM. Jadi kenaikan harga cukup punya alasan," papar Iwantono.
ADVERTISEMENT
Karena itu, bagi dunia usaha yang penting bukan harga BBM naik atau tidak naik, tapi kebijakan pemerintah yang konsisten dan memberikan kepastian.
"Ini dilema. Kalau BBM enggak naik, beban ekonomi kita berat. Tapi kalau BBM naik, beban rakyat berat. Pilihan mana pun tidak enak. Tapi jangan aturan sudah ditetapkan kemudian mendadak dibatalkan, kita jadi ragu pada kebijakan pemerintah," tegasnya.