Hidrogen Bisa Jadi Solusi atas Kendala Pasokan Bahan Bakar Nabati

6 Mei 2025 13:16 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Kajian Ekonomi Hijau dan Iklim LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah menjadi pembicara pada kumparan New Energy Vehicle Summit 2025 di MGP Space, SCBD Park, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Foto: Syawal Febrian Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Kajian Ekonomi Hijau dan Iklim LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah menjadi pembicara pada kumparan New Energy Vehicle Summit 2025 di MGP Space, SCBD Park, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Foto: Syawal Febrian Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
Komitmen Indonesia mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060 salah satunya terlihat dari pengembangan biofuel atau Bahan Bakar Nabati (BBN). Namun, kendala bahan baku atau feedstock seringkali menjadi tantangan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah menggencarkan program Biodiesel, campuran Solar dengan minyak kelapa sawit (CPO), yang saat ini sudah berada di level campuran 40 persen (B40). Sejalan dengan itu, Bioetanol atau campuran bensin dengan etanol, juga dikembangkan secara bertahap.
Kepala Kajian Ekonomi Hijau dan Iklim LPEM FEB UI, Alin Halimatussadiah, menjelaskan perlu ada diversifikasi bioenergi dengan hidrogen untuk meminimalisasi kendala pasokan.
"Hidrogen itu penting supaya tadi itu ada isu di biofuel kan, jadi intinya kita harus diversifikasi di feedstock biofuel-nya, tadi sudah disampaikan juga di energinya itu juga harus diversifikasi," jelasnya saat kumparan New Energy Vehicle Summit 2025, Selasa (6/5).
Alin membagi 2 karakteristik negara dalam mengembangkan hidrogen, yakni pelopor (first mover) dan pengikut (follower). Meskipun termasuk yang tertinggal, dia berharap Indonesia segera mengejar menjadi pelopor kedua (second mover).
ADVERTISEMENT
"Mungkin sekarang sudah bukan first mover, kita ingin second mover ya, karena sudah ada negara-negara yang duluan mengembangkan itu, tapi kalau ketinggalan itu kita follower," tuturnya.
Dia menyebutkan, negara yang mempelopori sebuah teknologi biasanya memiliki keuntungan ekonomi yang lebih besar. Sebaliknya, negara pengikut biasanya mengalami keekonomian yang rendah.
Dengan demikian, lanjut dia, apabila Indonesia lambat dalam mengejar ketertinggalan, maka pengembangan teknologi hidrogen bisa lebih mahal dan sulit.
"Kalau kita telat mengembangkan satu teknologi, itu pasti keuntungan ekonominya dalam arti bagaimana kita mempercepat supaya skalabilitasnya lebih luas dan akhirnya average cost-nya lebih rendah itu akan lebih sulit," ungkap Alin.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM Edi Wibowo menjadi pembicara pada kumparan New Energy Vehicle Summit 2025 di MGP Space, SCBD Park, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Foto: Syawal Febrian Darisman/kumparan
Sementara itu, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan hidrogen dapat diimplementasikan di berbagai sektor seperti transportasi, jaringan gas, industri, hingga pembangkit listrik.
ADVERTISEMENT
"Misalnya industri baja, industri semen atau kimia, dan kilang minyak yang dimanfaatkan untuk dekarbonisasi," jelasnya.
Selain dikembangkan untuk sektor industri hingga pembangkit listrik, hidrogen bisa dimanfaatkan untuk menambah devisa negara dengan diekspor.
"Itu salah satu juga dan dapat memberikan devisa bagi negara," ujar Edi.