IESR: Preferensi Indonesia Gunakan Bahan Bakar Fosil Harus Berubah

24 Maret 2023 19:39 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengendara mengisi bensin kendaraannya di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jakarta Selatan, Selasa (16/8/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengendara mengisi bensin kendaraannya di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jakarta Selatan, Selasa (16/8/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut perkembangan energi baru terbarukan (EBT) belum maksimal dalam negeri. Hal ini disebut IESR disebabkan masih tinggi tingginya preferensi penggunaan energi bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menjelaskan pertumbuhan EBT di negara-negara Asia lainnya seperti India dan China mencapai 141 gigawatt (GW) tahun lalu. Namun Indonesia hanya memberikan sumbangsih 1 GW atau kurang dari 0,5 persen kepada perkembangan EBT.
“Kalau kita lihat faktor-faktor ini mengapa di Indonesia energi seperti angin, surya, dan panas bumi itu tidak tumbuh sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain, adalah ketidaksesuaian level of playing field. Antara EBT, yang dianaktirikan, dengan adanya preferensi untuk mengembangkan energi fosil,” kata Fabby dalam Peluncuran Laporan dan Platform LCOE dan LCOS, Jumat (24/3).
Hal ini, sebut Fabby, terlihat dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Kementerian ESDM yang masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dengan pertimbangan PLTU batu bara merupakan energi yang dinilai paling murah.
ADVERTISEMENT
Fabby melanjutkan, preferensi menggunakan energi fosil tercermin pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang mengharuskan harga EBT harus bersaing dengan energi fosil.
“Memang sekarang Permen sudah dicabut karena Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022. Jadi energi terbarukan sudah tidak disubsidi saat itu, harus bersaing dengan harga energi fosil. Ini yang saya kira menjadi alasan EBT tidak berkembang di Indonesia,” tuturnya.
Fabby menyayangkan kecenderungan Indonesia untuk memberdayakan energi fosil untuk pembangkit listrik, karena harga bahan bakar sangat fluktuatif dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya seperti keputusan OPEC yang bisa mengatur jumlah produksi.
“Tetapi pembangkit listrik energi terbarukan itu biaya operasionalnya turun selama satu dekade terakhir, PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) itu turun 90 persen dan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) turun 80 persen,” ujar Fabby,
ADVERTISEMENT
Ia mendorong pemerintah bisa meningkatkan kapasitas energi terbarukan lebih cepat, sehingga transisi itu dapat memberikan dampak sosial ekonomi yang besar bagi masyarakat.
“Kita berharap pada 2030 EBT di Indonesia dapat mencapai target yaitu 23 persen, dan kita bisa melihat energi seperti surya dan angin tumbuh lebih cepat, terutama untuk energi surya. Menurut kajian IESR, potensi energi surya di Indonesia bisa menghasilkan antara 3.600 GW sampai 20 ribu GW,” ujar Fabby.