IMF Sebut Krisis Ekonomi Dunia Akibat Corona, Apa Saja Cirinya di Indonesia?

29 Maret 2020 11:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Foto: Nicholas Kamm / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Foto: Nicholas Kamm / AFP
ADVERTISEMENT
Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyebut kondisi global tengah mengalami krisis akibat pandemi virus corona di berbagai negara. Bahkan situasinya saat ini dinilai lebih buruk dibandingkan krisis yang terjadi pada 2008.
ADVERTISEMENT
Ada sejumlah indikator yang digunakan IMF menyebut krisis keuangan global. Sinyal umum digunakan itu mulai dari resesi ekonomi, pasar saham yang anjlok, kurs yang melemah, dana asing yang keluar terus meningkat, hingga turunnya harga komoditas dan minyak dunia.
Namun untuk menilai suatu negara apakah mengalami krisis atau tidak, IMF akan melakukan penilaian dan pendekatan lebih mendalam lagi.
Untuk Indonesia, indikator umum terjadinya krisis itu bisa dirasakan dalam sebulan terakhir ini. Saham terus terkoreksi, rupiah mencapai level terendah, ancaman pengangguran, hingga pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 0 persen.
Saham Terkoreksi
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa pekan terakhir pun anjlok. Bahkan hanya dalam beberapa menit usai pembukaan, IHSG langsung merosot.
ADVERTISEMENT
Pada pekan ketiga Maret 2020, IHSG mengalami penurunan hingga 14,52 persen pada posisi 4,194,944, dari 4.907,571 di pekan sebelumnya.
Rata-rata frekuensi transaksi harian bahkan mengalami pelemahan sebesar 12,94 persen atau sebanyak 411.606 ribu kali transaksi, dari 472.770 ribu kali transaksi pada pekan sebelumnya.
Meski demikian, pada pekan keempat atau sejak 23-27 Maret 2020, IHSG kembali menunjukkan taringnya. IHSG menguat 8,36 persen dan berada di posisi 4.545,571 dari pekan sebelumnya 4.194,944.
Transaksi harian juga mengalami kenaikan sebesar 64,93 persen atau sebesar 678.851 ribu kali transaksi.
Rupiah Melemah
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat mencapai Rp 16.550 pada Senin (23/3) atau melemah 650 poin (4.09 persen). Sedangkan dalam kurs tengah Bank Indonesia atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah berada di posisi Rp 16.608 per dolar AS.
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter menyatakan akan terus melakukan intervensi untuk menstabilkan rupiah sesuai dengan fundamentalnya. BI juga memastikan likuiditas di perbankan akan tetap longgar atau mencukupi.
Tak tanggung-tanggung, BI bahkan telah mengguyur hingga Rp 195 triliun sejak awal tahun ini hingga 18 Maret 2020 untuk menstabilkan rupiah. Ini dilakukan dengan memborong Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sejak awal tahun ini.
Selain intervensi, BI juga bergerak cepat dengan menerbitkan aturan untuk meredam permintaan dolar AS bagi investor asing.
Salah satunya yakni dengan mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening rupiah dalam negeri (vostro) bagi investor asing sebagai underlying untuk transaksi lindung nilai Domestic Non Delivery Forward (DNDF).
DNDF adalah transaksi forward yang penyelesaiannya dilakukan secara netting dalam mata uang rupiah di pasar valuta asing.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan maraknya sentimen positif di global, rupiah saat ini mulai menguat. Dalam sepekan ini, rupiah berada di level Rp 16.050 per dolar AS, dari sebelumnya sempat menyentuh Rp 16.550 per dolar AS.
Suasana penukaran uang dolar dan rupiah di money changer Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dana Asing Keluar
IMF menyebut, dana asing yang keluar (capital outflow) di seluruh negara berkembang mencapai USD 83 miliar selama pandemi corona. Angka ini merupakan yang tertinggi sepanjang masa.
Begitu juga yang terjadi di Indonesia. BI melaporkan, kurang dari sepekan telah terjadi capital outflow Rp 20 triliun akibat kepanikan investor asing.
Sejak awal tahun ini hingga 24 Maret 2020, sebanyak R 125,2 triliun dana asing kabur dari Indonesia. Ini meningkat dibandingkan 18 Maret 2020 yang terjadi outflow Rp 105,1 triliun.
ADVERTISEMENT
Total dana asing yang cabut itu paling banyak di Surat Berharga Negara (SBN), mencapai Rp 112 triliun dan disusul di saham sebanyak Rp 9,2 triliun.
"Itu semua hampir sebagian besar terjadi di Maret 2020, yang terdiri dari totalnya Rp 104,7 triliun," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam video conference, Selasa (24/3).
Ancam Pengangguran
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kondisi saat ini pun lebih sulit dibandingkan krisis 2008. Saat itu, yang tertekan hanya sektor keuangan. Sementara saat ini, sektor keuangan maupun sektor riil dunia usaha ikut terpukul akibat pandemi COVID-19.
Seruan pemerintah untuk melakukan jaga jarak sosial atau social distancing hingga anjuran untuk tetap berada di rumah, membuat sektor riil terpukul. Apalagi, sejumlah mal dan pasar telah menutup yang akan berdampak pada usaha turunan hingga para pekerja, khususnya di sektor informal.
ADVERTISEMENT
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, mengatakan dampak dari ditutupnya sejumlah dunia usaha, tak hanya membuat penurunan pendapatan bagi perusahaan, melainkan pada skala pekerja informal.
Pengaruh virus corona ke pengangguran menurutnya memang tak dalam waktu dekat. Namun sejumlah perusahaan telah berniat untuk tak membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pekerja karena sulitnya pemasukan.
"Mungkin bukan PHK, tapi cuti tanpa dibayar. Ini sudah terjadi di sektor pariwisata atau gaji dibayar 50 persen. Bahkan beberapa perusahaan sudah berniat tidak membayarkan THR. Kapan efeknya ke pengangguran? Di tahun 2021," kata Bhima.
Ilustrasi IHSG melemah. Foto: Kumparan/ Jamal Ramadhan
Pertumbuhan Ekonomi
IMF sebagai lembaga yang terdiri dari 189 negara anggota, memproyeksi ekonomi global di tahun ini akan tumbuh negatif. Padahal sebelumnya, IMF memproyeksi ekonomi global bisa tumbuh 3,3 persen di tahun ini dan 3,4 persen di 2021.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Sri Mulyani memproyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 0 persen jika wabah virus corona ini bisa berlangsung lebih dari enam bulan, karantina secara penuh (lockdown), hingga sektor penerbangan drop 100 persen. Padahal dalam APBN 2020, ekonomi Indonesia ditargetkan tumbuh 5,4 persen.
"Jika durasi COVID-19 bisa lebih dari 3 sampai 6 bulan, kemudian lockdown, serta perdagangan internasional bisa drop di bawah 30 persen, penerbangan drop sampai dengan 75 persen hingga 100 persen, maka skenario bisa menjadi lebih dalam, pertumbuhan ekonomi bisa di kisaran 2,5 persen bahkan 0 persen," ujar Sri Mulyani.
Sementara di skenario moderat, pemerintah memproyeksi ekonomi domestik masih bisa tumbuh di atas 4 persen jika COVID-19 ini mampu ditangani secara baik.
ADVERTISEMENT
Selain pemerintah, BI pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik di tahun ini, menjadi hanya 4,2-4,6 persen saat Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2020. Sebelumnya BI memproyeksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,0-5,4 persen.
Namun dalam beberapa hari terakhir ini, BI menyebut proyeksi juga akan berubah seiring dengan perkembangan yang ada. Sayangnya, Gubernur BI Perry Warjiyo enggan menyebutkan proyeksi tersebut.
Menurutnya, seluruh perubahan itu nantinya akan dituangkan dalam APBN-Perubahan 2020, yang saat ini telah dikomunikasikan antara pemerintah dengan DPR.