Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
IMF Wanti-wanti Negara Berpendapatan Rendah Bisa Gagal Bayar Utang
21 April 2024 16:08 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sebab negara dengan berpendapatan rendah tengah menghadapi beban utang yang tidak berkelanjutan.
Dalam pertemuan IMF-World Bank (Bank Dunia) di Washington baru-baru ini, Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva mengatakan, saat ini penting memberikan peringatan soal perkembangan dan prospek ekonomi di negara berkembang berpenghasilan rendah yang masih bergulat dengan dampak pandemi COVID-19 dan guncangan lainnya.
Mengutip Reuters, Minggu (21/4), IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan untuk negara-negara berpenghasilan rendah menjadi 4,7 persen dari 4,9 persen di 2024.
Dalam laporan terpisah, Bank Dunia juga mengatakan, setengah dari 75 negara termiskin di dunia mengalami kesenjangan pendapatan yang semakin lebar dengan negara-negara terkaya untuk pertama kalinya pada abad ini.
Georgieva mengatakan, tingkat utang yang tinggi menimbulkan beban besar bagi negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk banyak negara di Afrika Sub-Sahara, di mana negara-negara tersebut kini menghadapi pembayaran utang rata-rata sebesar 12 persen dibandingkan dengan 5 persen pada satu dekade lalu.
Suku bunga yang tinggi di negara-negara maju telah menarik investasi dan meningkatkan biaya pinjaman.
ADVERTISEMENT
“Yang menyedihkan adalah bahwa di beberapa negara, pembayaran utang mencapai 20 persen dari pendapatan,” kata Georgieva,
Dirinya juga menyebut, negara-negara yang terkena dampak perlu meningkatkan pendapatan domestik mereka dengan menaikkan pajak, terus memerangi inflasi, mengurangi pengeluaran dan mengembangkan pasar modal lokal.
Peristiwa Iran-Israel Justru Meningkatkan Risiko Negara Gagal Bayar
Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira membeberkan. dampak memanasnya hubungan Iran-Israel salah satunya bisa menimbulkan kegagalan bayar utang luar negeri juga tren pemutusan hubungan kerja (PHK) industri manufaktur.
“Kondisinya akan sangat berbeda konflik Timur Tengah Israel-Iran dibanding Ukraina-Rusia. Dampaknya efisiensi operasional termasuk PHK di industri padat karya, hingga efek domino ke kemampuan bayar utang luar negeri yang melemah hingga terancam gagal bayar,” kata Bhima kepada kumparan, Minggu (21/4).
Hal ini dikarenakan, lanjut Bhima, dibandingkan dengan dampak perang Rusia-Ukraina, konflik Iran-Israel ini lebih banyak mengganggu rantai pasok.
ADVERTISEMENT
“Spillover effect ke gangguan rantai pasok lebih besar konflik Timur Tengah,” imbuh Bhima.
Spillover effect merupakan fenomena atau kejadian ekonomi yang timbul akibat adanya kebijakan maupun gejolak ekonomi di sebuah negara, yang dapat berdampak pada negara lain melalui jalur perdagangan ataupun jalur keuangan.
Meskipun Timur Tengah masih menjadi pasar non tradisional yang dibidik Indonesia untuk ekspor produk manufaktur. Namun, Timur Tengah juga berperan penting untuk menjadi hub ekspor-impor ke pasar andalan Indonesia atau pasar tradisional, Eropa.
"Dari sisi pasokan energi sebagian besar anggota OPEC ada di Timur Tengah, kemudian Timur Tengah juga jadi hub ekspor-impor ke Afrika Utara dan Eropa," ujar Bhima.
Terlebih menurut Bhima, secara geografis, kata Bhima, lokasi Timur Tengah juga memegang peranan dua kali lipat lebih signifikan terhadap perindustrian di Indonesia dibanding Rusia-Ukraina.
ADVERTISEMENT
Sehingga dampak terhadap ekspor produk jadi maupun importasi bahan baku dan bahan baku penolong untuk industri di Indonesia akan terganggu dengan konflik ini.
“Ada dua selat yang sangat penting yakni Selat Hormuz dan Terusan Suez, di situ banyak kapal bawa barang Indonesia melintas,” jelas Bhima.