Impor Gandum hingga Rupiah Terdampak Perang Rusia-Ukraina, Perlu Diantisipasi

26 Februari 2022 16:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja menyelesaikan proses pemotongan roti tawar di Aceh, Senin (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja menyelesaikan proses pemotongan roti tawar di Aceh, Senin (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia harus segera bersiap memitigasi dampak perang antara Rusia dengan Ukraina agar tidak mengganggu perekonomian nasional. Apalagi, Indonesia masih banyak impor gandum dari kedua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah harus segera bergerak mengatasi ancaman kesulitan yang terjadi karena perang tersebut. Ia mengatakan, langkah awal bisa dengan memanggil para importir.
“Yang perlu dilakukan adalah memanggil para importir dan juga pelaku di industri makanan dan minuman, dipanggil oleh pemerintah dalam hal ini Kemendag untuk mencari solusi bersama, termasuk juga mengalihkan barang-barang yang dibutuhkan sebagai komoditas bahan baku seperti gandum ke negara lainnya,” kata Bhima saat dihubungi kumparan, Sabtu (26/2).
Bhima menyebut masih banyak negara pemasok alternatif seperti China, Australia, dan Amerika Serikat yang harus diajak kerja sama jangka panjang terkait impor gandum. Sebab, ia menduga perang Rusia dengan Ukraina tidak berlangsung sebentar.
ADVERTISEMENT
“Mitigasi lainnya juga saya kira bagaimana mengkomunikasikan ke para pelaku usaha untuk tidak buru-buru menaikkan biaya kepada konsumen, mungkin bisa melakukan pemangkasan, efisiensi di beberapa lini produksi sebelum akhirnya diputuskan meneruskan beban biaya yang naik kepada konsumen,” ujar Bhima.
“Jadi harus diminta pengertian kepada para pengusaha bahwa situasi sekarang tidak semua konsumen siap untuk menerima naiknya harga karena bisa mempengaruhi daya beli,” tambahnya.

Subsidi Energi hingga Rupiah Juga Terdampak

Bhima menjelaskan mitigasi lainnya adalah dengan melakukan perubahan pos belanja di APBN. Ia menegaskan saat ini yang mendesak adalah harga pangan dan energi yang memang sudah naik sejak sebelum adanya perang Rusia dengan Ukraina. Bisa saja perang tersebut membuat harga komoditas tersebut terus naik.
ADVERTISEMENT
“Jadi segera lakukan perubahan di dalam APBN untuk menyesuaikan pos belanja khususnya pos belanja subsidi energi, subsidi pangan, dan juga belanja jaminan sosial. Karena tiga komponen ini yang sekarang dibutuhkan untuk meredam kenaikan harga yang mungkin dalam jangka pendek akan dirasakan di tanah air,” terang Bhima.
Tak hanya itu, langkah lainnya yang bisa dilakukan adalah mitigasi dalam kebijakan moneter yaitu dengan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Menurutnya stabilitas nilai tukar rupiah harus dijaga dengan berbagai intervensi moneter dari Bank Indonesia.
Peluang di Tengah Ancaman
Meski ada risiko-risiko tersebut, Bhima mengakui masih ada juga peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia dari adanya perang Rusia dengan Ukraina. Ia menyebut salah satu peluangnya adalah relokasi investasi.
ADVERTISEMENT
“Peluang pertama relokasi investasi dari Eropa Timur, negara-negara berkembang di Eropa Timur bahkan Rusia juga sekarang mencari negara lain sebagai basis produksi, tentunya Indonesia bisa mengajukan diri kalau dirasa memang Indonesia memiliki daya saing dan juga kesiapan kawasan industri dalam negeri,” terang Bhima.
Peluang berikutnya adalah dengan substitusi produk-produk dari Rusia dan Ukraina. Bhima mencontohkan produk yang dihasilkan kedua negara tersebut adalah plastik, kayu, dan pupuk. Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau menggantikan posisi Rusia di negara-negara yang potensial sebagai tujuan ekspor.
“Jadi kalau Rusia terganggu rantai pasoknya untuk mengekspor kayu, pupuk. Nah Indonesia bisa mengambil peran itu. Jadi ini adalah momentum sekali seumur hidup yang harus dimanfaatkan bagi perekonomian Indonesia,” tutur Bhima.
ADVERTISEMENT