Impor Pertanian Capai USD 7,58 Miliar di Agustus 2024, Didominasi Biji Gandum

17 Oktober 2024 11:29 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pria mengumpulkan gandum selama musim panen di sebuah peternakan di Khan Younis di selatan Jalur Gaza. Foto: Ibraheem Abu Mustafa/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pria mengumpulkan gandum selama musim panen di sebuah peternakan di Khan Younis di selatan Jalur Gaza. Foto: Ibraheem Abu Mustafa/REUTERS
ADVERTISEMENT
Kementerian Perdagangan (Kemendag) melaporkan nilai impor sektor pertanian Indonesia telah mencapai USD 7,58 miliar hingga Agustus 2024. Nilai tersebut meningkat 5,24 persen jika dibandingkan dengan pencapaian tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Fajarini Puntodewi, mengatakan impor produk pertanian tahun 2024 didominasi oleh biji gandum dengan nilai impor sebesar USD 1,93 miliar dengan pangsa 25,41 persen.
"Banyak sekali tantangannya, salah satunya lahan. Sementara lahan Indonesia kan luas ya. Hanya kan ini bagaimana menentukan lahan yang tepat yang memang lahannya bagus untuk pertanian sehingga bisa menghasilkan output yang membantu mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi 8 persen," kata Fajarini dalam acara Gambir Trade Talk di Jakarta, Kamis (17/10).
Selanjutnya, impor kedelai tercatat sebesar USD 1,01 miliar dengan pangsa 13,36 persen dan gandum senilai USD 636 juta dengan pangsa 8,39 persen. Diikuti oleh impor serat kapas sebesar USD 556 juta dengan pangsa 7,34 persen dan impor biji kakao senilai USD 532 juta dengan pangsa 7,02 persen.
ADVERTISEMENT
"Selama periode tahun 2019-2023 nilai impor pertanian rata-rata tumbuh 6,95 persen per tahun," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Fajarini mengungkapkan sejumlah tantangan perdagangan nasional dan global. Di antaranya gejolak harga pangan dan energi, di mana stabilitas harga, ketersedian pasokan, menjadi salah satu tantangan perdagangan.
"Perkembangan geo politik global. Invasi Rusia ke Ukraina, konflik Israel dan Palestina, ketegangan di pasifik. Kemudian adanya gangguan logistik, distribusi dan rantai pasok. Selain itu isu lingkungan seperti meningkatnya pandemi dan endemi, serta ekonomi hijau," tuturnya.