Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Inalum Jajaki Utang dari Jepang buat Caplok Freeport
13 April 2018 7:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Untuk mencaplok 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI), PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum selaku induk holding BUMN pertambangan harus membeli 40% Participating Interest (PI) yang dimiliki Rio Tinto.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan bahwa sudah ada beberapa bank besar yang siap memberi pinjaman ke Inalum untuk membeli 40% PI Rio Tinto tersebut.
Di antaranya ada bank asal Jepang yang menawarkan bunga ringan. Inalum tertarik untuk menarik pinjaman dari bank tersebut.
"Sama bankirnya sudah ketemu. Sejumlah bankir besar. Ini buat kami confidance buat kami bisa selesaikan transaksi itu (pembelian PI Rio Tinto). Kami pilih Jepang dulu karena rate-nya paling murah," kata Budi saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (12/4).
Sampai saat ini Inalum masih menegosiasikan harga dengan Rio Tinto. "(Tawar menawar) Pastinya lebih alot jika dibandingkan kita beli kain batik di Thamrin City. Orangnya sudah mau (jual). Tinggal tawar-tawaran. Jual segini mau segini, biasa," ia menuturkan.
ADVERTISEMENT
Pihaknya terus melaporkan ke pemerintah soal progres negosiasi untuk mengakuisisi 51% saham Freeport. "Rutin ketemu kok, diskusi terus, update," ucapnya.
Saat ini, saham PTFI sebesar 90,64% dimiliki oleh Freeport McMoRan Inc , dan 9,36% dimiliki oleh pemerintah Indonesia.
Namun secara economic interest, Freeport McMoRan memiliki 54,32% saham PTFI, Rio Tinto memiliki 40% saham PTFI , dan pemerintah Indonesia memiliki 5,68% saham PTFI. Nantinya 40% PI Rio Tinto itu dikonversi menjadi 40% saham PTFI secara equity interest.
Divestasi 51% saham merupakan salah satu syarat yang diajukan pemerintah kepada Freeport jika perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu ingin tetap mengelola Tambang Grasberg di Papua sampai 2041.