Indonesia Ingin Gabung BRICS, Apa Bedanya dengan OECD?

25 Oktober 2024 15:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Putin memimpin KTT BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). Foto: Sergey Bobylev/Photohost agency brics-russia2024.ru
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Putin memimpin KTT BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). Foto: Sergey Bobylev/Photohost agency brics-russia2024.ru
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi, menegaskan Indonesia tetap memegang prinsip bebas aktif dalam setiap forum internasional yang dihadiri. Hal ini diungkapkan Edi saat menanggapi pertanyaan terkait partisipasi Indonesia di forum BRICS dan potensi gangguan terhadap keanggotaan Indonesia di organisasi internasional lain seperti OECD.
ADVERTISEMENT
BRICS merupakan kelompok negara berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok (China), dan Afrika Selatan (South Africa). Kelompok ini dibentuk untuk memperkuat kerja sama ekonomi, politik, dan budaya antara negara-negara anggotanya, serta untuk meningkatkan pengaruh mereka di kancah global.
“Kalau diundang (forum BRICS) ya tetap harus hadir. Apa pun forumnya, kalau diundang Indonesia harus hadir,” kata Edi kepada wartawan di Kantor Kementerian Perekonomian, Jumat (25/10).
Menurutnya, kehadiran Indonesia dalam setiap forum tetap harus didasarkan pada pertimbangan yang komprehensif.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Edi Prio Pambudi. Foto: Akbar Maulana/kumparan
"Visi Indonesia jelas, ada di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bebas aktif. Bebas itu bukan berarti netral, bebas itu artinya kita bisa ada di pihak mana pun selama untuk kepentingan nasional, manfaatnya besar,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Edi menekankan, meskipun BRICS dan OECD sama-sama organisasi internasional, kedua forum tersebut memiliki peran yang berbeda.
"OECD itu adalah lembaga benchmarking untuk standar. Bukan trade block, makanya di dalam OECD tidak ada perundingan. Yang ada adalah diskusi, konsultasi," jelasnya.
Edi menjelaskan, BRICS memiliki sejarah yang berbeda dan kini berkembang dengan fokus yang lebih luas. Adapun, Indonesia sebelumnya pernah ditawari untuk bergabung dengan BRICS, tetapi memilih untuk mempertahankan posisinya sebagai middle power.
"Kita posisinya seperti di G20, kita middle power, di tengah. Makanya kita menjaga supaya kita selalu bisa menjadi connectors, menjadi jembatan antara semua blok," tutur Edi.
Saat ditanya mengenai langkah BRICS yang fokus pada de-dolarisasi, Edi menegaskan bahwa Indonesia lebih berfokus pada efisiensi ekonomi.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita sebenarnya melihatnya adalah efficient economy. Bagaimana mencari selalu peluang-peluang yang membuat ekonomi kita efisien. Tidak kemudian hanya spesifik bicara politik untuk memihak ini, memihak itu,” tegasnya.
Edi menjelaskan bahwa Indonesia telah mengembangkan transaksi dengan mata uang lokal atau Local Currency Transaction (LCT) sebagai salah satu langkah efisiensi ekonomi.
"Tujuan utamanya lebih kepada efficient economy. Bukan masalah kita sensitif dengan sebuah currency,” kata Edi.
Ia juga menambahkan bahwa Indonesia tidak ingin terbawa oleh manifesto tertentu yang bisa mengganggu keseimbangan dalam perekonomian nasional. "Kita ingin proses perdagangan, misalnya logistik cost kita murah, proses transportasi kita terjangkau, supaya semuanya menjadi lebih mudah,” imbuhnya.