Indonesia Punya Banyak Pekerjaan Rumah untuk Dongkrak Investasi Asing

9 Agustus 2020 18:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi meninjau proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan LRT Jabodebek di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (12/12/2019). Foto: Kevin S. Kurnianto
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi meninjau proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan LRT Jabodebek di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (12/12/2019). Foto: Kevin S. Kurnianto
ADVERTISEMENT
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan pandangan masyarakat terhadap investasi asing masih rendah.
ADVERTISEMENT
Dalam survei yang dilakukan kepada 1.203 responden, sebanyak 54 persen tidak setuju investasi asing masuk ke dalam negeri. Sedangkan 37 persen menyatakan setuju dan 9 persen sisanya tidak tahu.
“Intinya publik pada umumnya kurang positif dalam menilai investasi dari luar negeri ini,” Peneliti SMRC Saidiman Ahmad dalam paparannya di acara SMRC “Ekonomi COVID-19 dan Persepsi Publik tentang Investasi” secara virtual, Minggu (9/8).
Menanggapi hal itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Avilliani mengatakan, Indonesia memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang banyak agar investasi asing bisa terdongkrak. Apalagi, saat ini, kebutuhan investasi Indonesia tidak bisa dipenuhi dengan ketersediaan tabungan dalam negeri.
"Investasi asing dibutuhkan karena masih terjadi saving investment gap yang cukup besar. Padahal, Indonesia masih membutuhkan investasi yang besar untuk membangun infrastruktur dan pembangunan ekonomi," katanya.
Aviliani. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Kata dia, ada beberapa masalah atau isu yang harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pertama, terkait inefisiensi dalam birokrasi, isu korupsi, ketersediaan infrastruktur, kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten, kebijakan perpajakan, dan isu politik menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan.
ADVERTISEMENT
"Ini masalah klasik yang dari dulu sampai sekarang masih ada. Di RUU Cipta Kerja, ini sebetulnya yang ingin diakomodasi, supaya yang menjadi keluhan investor ini bisa dikurangi. Jadi memang perlu disosialisasikan kepada masyarakat terkait RUU Cipta Kerja untuk mengeliminasi hal-hal yang buruk ini,” ujarnya.
Kedua, daya saing Indonesia. Hal ini juga berkaitan dengan incremental capital output ratio (ICOR) di Indonesia atau parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara.
Pada 2019, ICOR Indonesia adalah 6,57. Sebagai perbandingan dengan negara tetangga, ICOR Filipina 3,7, Thailand 4,5, Malaysia 4,6, dan Vietnam 5,2.
Menurutnya, tingkat ICOR di Indonesia tinggi menunjukkan bahwa tingkat efisiensi masih rendah. Hal ini akan menghambat investasi.
Pada 2020, tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia juga masih di peringkat 73 dunia. Beberapa persoalan yang cukup berat seperti komponen memulai bisnis (peringkat 140), izin mendirikan bangunan (peringkat 110), dan enforcing contract (peringkat 139).
ADVERTISEMENT
"Prosedur memulai bisnis di Indonesia cukup banyak, mencapai 11. Angka tersebut jauh dari rata-rata di Asia Timur dan Pasifik," terang dia.
Ketiga, Indonesia juga mengalami penurunan tingkat produktivitas dari waktu ke waktu. Masalah ini penting dan harus diselesaikan karena ke depan dunia memasuki era global chain yang menuntut tiap negara kompetitif.
Lalu, ada isu ketenagakerjaan. Saat ini, masih didominasi 58 persen yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki skill, maka diperlukan pelatihan dalam menyambut investasi baru.
"Bila ini tidak dilakukan, akan terjadi kesenjangan, dan pertumbuhan tinggi tidak diikuti dengan pemerataan," tuturnya.