Indonesia Sudah Swasembada Garam Tapi Masih Impor, Begini Penjelasan PT Garam

5 April 2022 17:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja memanen garam di Desa Tambak Cemandi, Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (10/8). Foto: Umarul Faruq/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja memanen garam di Desa Tambak Cemandi, Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (10/8). Foto: Umarul Faruq/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
PT Garam (Persero) mengungkapkan bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada garam konsumsi. Hal tersebut terlihat dari kebutuhan garam konsumsi nasional tidak melebihi produksi garam tahunan PT Garam.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama PT Garam, Arif Haendra, mengatakan kebutuhan manusia akan garam yaitu 5 gram per kapita setiap harinya. Sehingga, jika masyarakat Indonesia ada 270 juta orang, maka kebutuhannya hanya 500 ribu ton setahun.
Selain itu, Arif juga mengeklaim tidak ada fluktuasi harga garam di pasaran saat ini, hal tersebut menjadi salah satu bukti swasembada garam konsumsi di Indonesia.
"Jadi produksi kita tahun lalu saat musim jelek itu 1.092.000 ton, jadi kita swasembada untuk garam konsumsi," ujarnya saat rapat dengan Komisi IV DPR, Selasa (5/4).
Namun, Arif menuturkan Indonesia masih membutuhkan impor garam industri. Sebab, produksi garam industri masih menjadi tantangan besar bagi produsen garam lokal, karena harga jualnya jauh lebih mahal dari garam industri impor.
ADVERTISEMENT
"Garam industri yang diimpor itu spesifikasinya sangat khusus, dan harganya sangat murah. Jadi yang diimpor dari Australia itu USD 30 per ton, jadi Rp 450 per kg, itu sudah ada di Surabaya, Jakarta, dan Medan. CIF (Cost, Insurance and Freight) sudah include," jelasnya.
Kendati demikian, produsen garam lokal membutuhkan biaya yang lebih besar untuk memproduksi garam industri di dalam negeri, sehingga harganya tidak bisa bersaing dengan garam impor.
Arif menjelaskan, Harga Pokok Produksi (HPP) garam industri oleh petani, contohnya di Madura, sekitar Rp 775 per kilogram, lalu ditambah ongkos angkut ke Surabaya sebesar Rp 900. Sehingga, butuh HPP hingga Rp 1.400 per kilogram hanya untuk di Surabaya.
"Ini menyebabkan garam (industri) nasional sulit bersaing dengan impor, apalagi garam impor ini sesuai Permenkeu No 88/2017, bea masuknya Rp 0, jadi tidak ada bea masuk. Sementara di PT Garam tidak ada insentif apapun, BBM kita tidak bisa solar subsidi, harus solar industri," tutur dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kata Arif, PT Garam juga mematuhi segala pajak-pajak penghasilan untuk badan usaha, sehingga biaya untuk pajak ini mencapai 40 persen dari total biaya produksi. Dengan begitu, butuh usaha besar untuk menambah kapasitas produksi.
Petani memanen garam di Kelurahan Pallengu, Bangkala, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Foto: ANTARA FOTO/Arnas Padda
Dia juga menilai, Internal Rate of Return (IRR) untuk investasi garam belum tercapai karena harga garam industri di pasaran masih sangat rendah, sehingga apabila ada investor pasti mengaitkan keekonomian dengan tingkat harga di nasional, terutama garam industri impor.
"Ini menjadi tantangan karena apabila harga jual harus USD 30 akan sulit sekali mencapai tingkat keekonomian investasi garam di Indonesia, itu yang menyebabkan kita masih mengimpor garam industri," imbuh Arif.
Dengan adanya berbagai tantangan tersebut, Arif mengatakan PT Garam tengah berupaya menggencarkan hilirisasi, sebab kerugian yang diderita lantaran sebagian besar pihaknya masih menjual garam dalam bentuk bahan baku.
ADVERTISEMENT
Adapun Arif memaparkan, impor garam industri untuk tahun 2021 kemarin sebesar 3.012.000 ton. Sementara itu, stok garam produksi sendiri PT Garam sebesar 180.000 ton, dan yang eks penyerapan garam rakyat ada 122.000 ton.
"Dan sekarang sudah mulai bisa dijual. Total 300.000 ton produksi PT Garam," pungkasnya.