Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Kondisi industri hulu minyak dan gas (migas ) Indonesia saat ini kembali diterpa oleh hengkangnya investasi perusahaan migas asing raksasa. Kali ini, ConocoPhillips Company melepas seluruh asetnya yang kemudian diakuisisi penuh oleh PT Medco Energi Internasional Tbk.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menuturkan saat ini Indonesia masih memerlukan investasi besar serta teknologi tambahan bagi kegiatan eksplorasi mencari cadangan migas baru, di tengah semakin tuanya lapangan atau blok migas yang sudah ada.
Namun, para investor asing hengkang dari Indonesia karena iklim investasi semakin kurang menarik. Selain kegiatan eksplorasi yang semakin mahal karena memasuki wilayah Indonesia Timur dan banyak di lepas pantai (offshore), insentif fiskal pun semakin sulit didapat para pengusaha migas.
"Lapangan eksplorasi makin susah, produksi makin mahal, tapi insentif dikurangi, kan orang jadi melihat kembali investasi bagus di Indonesia apa di negara lain yang lebih menarik, simple, dan cadangan lebih besar," ujar Moshe saat dihubungi kumparan, Sabtu (5/3).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, menurut Moshe, belum ada perusahaan migas lokal yang kapabilitasnya menyamai perusahaan asing raksasa semacam ExxonMobil, ChevronTexaco, Shell, Total, dan ConocoPhillips. Sehingga, industri migas Indonesia pada dasarnya masih memerlukan investasi asing.
"Medco yang terbesar atau Pertamina juga belum selevel itu. Masih butuh partner investasi untuk mengerjakan sama-sama suatu blok, misal Blok Rokan besar sekali biaya investasinya, saya selalu sarankan Pertamina tidak sendiri mengelola blok sebesar itu," tutur dia.
Jika pengelolaan secara mandiri tersebut dipaksakan, investasi pun tidak akan maksimal yang akhirnya membuat produktivitas semakin lama semakin menurun. "Sedangkan kalau mereka bisa berpartner dengan yang punya teknologi, pengalaman, dan bisa mengucurkan dana, penurunan produksi itu bisa direm atau meningkat kembali," tambah Moshe.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Moshe menyayangkan pemerintah yang masih belum bisa memperbaiki kualitas iklim investasi di sektor migas selama belasan tahun ini. Dia menyebutkan, pemerintah harus segera melakukan benchmarking dengan lebih komprehensif.
"Pemerintah harus bisa running sektor migas ini sebagai bisnis yang besar, membutuhkan marketing dan strategi, untuk membuat itu butuh survei komprehensif. Kita lihat kekurangan kita dibanding negara lain itu apa, apa saja yang kita harus kasih," imbuh dia.
Dia menegaskan, Indonesia perlu secara proaktif menawarkan investasi yang menarik untuk perusahaan migas asing. Namun, kata Moshe, pemerintah masih cenderung mencampuradukan persoalan bisnis dengan politik yang tidak kunjung selesai.
"Misal Total diambil Pertamina, Blok Rokan diambil Pertamina, itu kan memberikan kesan ada sisi nasionalisme, padahal blok-blok itu sukses. Sekarang istilahnya bisa dibilang (perusahaan asing) ditendang karena kesuksesannya dan diambil seperti itu," ungkap Moshe.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang membuat investor asing berpikir dua kali untuk berinvestasi di sektor migas Indonesia. Moshe menjelaskan, perusahaan asing yang sudah mensukseskan eksplorasi berpikir sewaktu-waktu mereka bisa disingkirkan karena sifat nasionalisme ini.
"Saya paham kita harus prioritaskan orang Indonesia dulu, tapi kita belum bisa jalan sendiri, Mahakam atau Rokan mampu enggak jalan sendiri? Kita lihat produksinya turun terus. Kita belum bisa main sendiri, belum ada di posisi cukup kuat untuk bisa mengelola lapangan sebesar itu," tegas Moshe.
Dia menyarankan agar pemerintah mengubah pola pikirnya agak tidak memberikan kesan nasionalisme, selain memperbaiki iklim investasi melalui kemudahan berusaha dan menambah insentif fiskal. Hal itu bisa membuat investor asing memilih untuk kabur.
"Padahal mereka berjasa sekali untuk menemukan cadangan migas dan bisa produksi sebesar itu. Hal-hal seperti itu kadang menimbulkan sentimen bagi investor yang kurang baik ke Indonesia," pungkas Moshe.
ADVERTISEMENT