Industri Plastik Harap Tarif Bea Masuk Antidumping Bisa Tekan Impor

3 Agustus 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua buah kapal melakukan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (13/2/2023). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Dua buah kapal melakukan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (13/2/2023). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) berharap pemerintah bisa segera menekan impor barang plastik, salah satunya melalui diterapkannya kembali Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36 Tahun 2023, serta pemberlakuan hambatan perdagangan berupa Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiono, menyatakan akibat relaksasi impor, utilitas dari sektor petrokimia hulu sudah di bawah 80 persen. Bahkan, ada beberapa anggotanya menghentikan operasional pabrik.
Ia pun berharap aturan impor kembali diperketat melalui Permendag 36/2023. Menurut Fajar, hal ini penting agar industri dalam negeri bisa mengatur pemenuhan suplai dan demand di dalam pasar domestik.
"Jadi kalau kita kembali ke Permendag 36/2023 semangatnya adalah memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dengan prioritas material lokal dulu. Selebihnya nanti bila ada kekurangan, baru dipenuhi oleh produk impor," ujar Fajar dalam keterangannya, Sabtu (3/8).
Ia menilai, penerapan BMTP-BMAD menjadi penting karena barang impor sudah mengganggu kegiatan pasokan. "Barang jadi plastik yang masuk ke dalam tekstil, seperti terpal dan lain-lain itu juga impornya masih tinggi, dan meskipun sudah diatur pakai Laporan Surveyor (LS) tapi tetap ternyata pasokannya masih naik cukup lumayan besar. Ini perlu juga nanti selain kembali ke Permendag 36/2024 juga harus ada BMTP atau BMAD," katanya.
Ilustrasi alat makan plastik Foto: Shutter Stock
Lebih lanjut menurut dia, kedua hal itu mesti dilakukan secara tepat dan cepat supaya tidak kehilangan momentum pemajuan sektor petrokimia. Dirinya juga berharap adanya keterbukaan antara sektor hulu dan hilir industri petrokimia terkait kebutuhan di dalam negeri, sehingga para investor bisa mengambil langkah untuk mulai berinvestasi.
ADVERTISEMENT
"Kita berharap antara hulu dan hilir terjadi saling keterbukaan dan memberikan kepastian kira-kira mapping kebutuhan dan pertumbuhan dalam negeri itu seberapa besar, sehingga kita bisa memprediksi kapan kita mulai investasi, dan seberapa besar investasi itu bisa ditanamkan dan kembali berapa lama," katanya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Sebelas Maret (UNS) Ernoiz Antriyandarti menyampaikan, instrumen kebijakan pengetatan impor diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri, terutama jika industri tersebut belum berdaya saing diliberalisasi perdagangan.
Menurut dia, pengetatan impor bisa menjadi peluang mengembangkan daya saing industri petrokimia, sehingga Indonesia menjadi pasar bagi produsen petrokimia domestik. Hal ini sejalan dengan rencana strategis pemerintah yang juga menjadikan industri petrokimia sebagai salah satu dari sektor industri yang mendapat perhatian khusus.
ADVERTISEMENT
"Dengan dikembalikannya pengetatan impor petrokimia, diharapkan impor petrokimia turun signifikan. Selanjutnya menjadi pemacu industri petrokimia dalam negeri untuk berinovasi dan mengembangkan teknologi agar produksinya dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga, ketergantungan impor petrokimia turun, produksi dalam negeri berkembang, daya saing sektor petrokimia meningkat dan neraca perdagangan sektor petrokimia tidak lagi defisit," katanya.
Sebelumnya dalam keterangan resmi, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Uma menyoroti adanya ketidaksiapan antar lembaga pemerintah yang mengakibatkan banyak kontainer tertahan dan satgas impor yang tidak efektif. Menurutnya, apabila industri RI sampai terkena serbuan impor, tentu ada efek yang besar pada pertumbuhan ekonomi secara makro.
"Pemerintah harus menyadari bahwa industri strategis seperti petrokimia dan tekstil perlu dilindungi dengan kebijakan yang jelas dan koordinasi antar lembaga yang baik. Kita harus melindungi pasar dalam negeri dengan kebijakan yang mendukung ekosistem industri dari rantai pasok hingga kebijakan teknis," tambahnya.
ADVERTISEMENT