Inkonsistensi Aturan Disebut Jadi Hambatan Investasi di Sektor Tenaga Surya

13 Agustus 2024 15:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melakukan pengecekan termal kabel panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Sengkol kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Sengkol, Praya, Lombok Tengah, NTB, Senin (15/7/2024).  Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melakukan pengecekan termal kabel panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Sengkol kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Sengkol, Praya, Lombok Tengah, NTB, Senin (15/7/2024). Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah dipandang tidak konsisten dalam menerapkan kepastian hukum di sektor bisnis. Salah satu contoh inkonsistensi itu tercermin dalam kebijakan pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
ADVERTISEMENT
Imbas dari kebijakan tersebut membuat investor ragu untuk menggelontorkan modalnya di Tanah Air. Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi, Badan Riset dan lnovasi Nasional (BRIN) Arya Rezavidi mengomentari langkah pemerintah yang menerbitkan aturan tentang relaksasi TKDN untuk proyek PLTS melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2024.
Menurut dia terbitnya aturan ini membuat investasi asing masuk ke proyek PLTS lambat akibat longgarnya kebijakan impor komponen pendukung.
Suasana panel surya yang sudah terpasang saat ground breaking Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (2/11/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
"Permen 11 [Tahun 2024], pembiayaan dari luar boleh impor, nah ini kan di satu sisi untuk mendorong berkembangnya proyek-proyek PLTS memang bagus, tapi untuk industri semua jadi ragu, kalau boleh impor ya sudah enggak usah investasi di sini," jelas Arya dalam diskusi Membangun Rantai Pasokan Tenaga Surya di Indonesia untuk mendukung transisi energi yang cepat dan industri hijau oleh Institute for Essential Service Reform (IESR) di Cikini, Jakarta Pusat Selasa (13/8).
ADVERTISEMENT
Selain dari longgarnya impor komponen pendukung, aturan yang berubah-ubah ini juga terjadi dalam beberapa proyek sektor bisnis lain seperti pada kendaraan listrik.
Menurutnya, pelaku usaha di berbagai sektor membutuhkan kebijakan yang pasti dalam menanamkan investasi di Indonesia.
"Yang jadi persoalan untuk para pebisnis karena pebisnis butuh kepastian regulasi dan hukum," tambah Arya.
Sementara itu, Analisis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Putra S juga sempat menuturkan, pemerintah memang tidak konsisten dalam membuat aturan mengenai PLTS ini.
Meskipun Alvin sempat menyebutkan beleid terbaru TKDN PLTS Atap dapat meningkatkan daya saing lokal, tetapi aturan harus memiliki peta jalan jangka panjang.
"Kepastian regulasi peraturan PLTS sudah berubah lima kali dalam berapa tahun terakhir, tender energi surya tidak pasti," tutur Alvin dalam kesempatan yang sama di Cikini, Jakarta Pusat Selasa (13/8).
ADVERTISEMENT
Sehingga Alvin melihat, kepastian hukum menjadi salah satu hal yang dapat menjadi cara meningkatkan daya saing produsen modul surya lokal.
Menurutnya, ada beberapa cara meningkatkan daya saing produsen modul surya dalam negeri yaitu dengan memberikan insentif dan bekerja sama dengan produsen global.
"Menurut saya di sini akan ada tiga cara untuk menaikkan daya saing produsen lokal, tentu saja dengan insentif baik fiskal maupun nonfiskal untuk mengurangi beban produksi terutama apabila industri tersebut ingin mengekspor, yang kedua kerja sama dengan produsen global untuk transfer teknologi," jelas Alvin.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Maritim dan Investasi (Marves), Rachmat Kaimuddin, mengatakan implementasi relaksasi TKDN untuk PLTS penting ketika tender proyek harus mencantumkan TKDN.
ADVERTISEMENT
Dengan aturan baru yang diterbitkan itu, proyek PLTS yang didanai hibah luar negeri dan pinjaman luar negeri tidak lagi diwajibkan mencantumkan TKDN dalam dokumen lelang.
Pemerintah sebelumnya menetapkan ketentuan TKDN minimal 40 persen untuk proyek PLTS. Namun aturan itu justru menghambat pendanaan proyek yang berasal dari pinjaman luar negeri.
“Kalau mau dapat pembiayaan luar negeri harus mencantumkan TKDN, berarti kita nggak bisa dapat uang dari World Bank, ADB, Islamic Development Bank, semua nggak bisa,” kata Rachmat usai acara sosialisasi Kemenko Marves di Hotel Pullman Jakarta, Rabu (7/8).