Investasi EBT Masih Minim, Tugas Berat Prabowo Hadirkan Transisi Energi di RI

23 Oktober 2024 14:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Prabowo Subianto memberi hormat ketika lagu Indonesia Raya berkumandang saat upacara pelantikan menteri dan kepala lembaga tinggi negara Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Prabowo Subianto memberi hormat ketika lagu Indonesia Raya berkumandang saat upacara pelantikan menteri dan kepala lembaga tinggi negara Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus menemui kendala besar dalam menghadirkan energi bersih di Indonesia, yakni investasi sektor energi baru terbarukan (EBT) yang masih minim.
ADVERTISEMENT
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat ada sederet pekerjaan rumah menanti pemerintahan yang baru, terutama untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Upaya ini bertujuan mencegah memburuknya dampak krisis iklim dan menarik investasi untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan pemerintahan Prabowo-Gibran memerlukan strategi yang tepat untuk keluar dari tren rendahnya investasi di sektor energi terbarukan dalam 5 tahun terakhir.
Investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi Indonesia pada 2023 tercatat hanya USD 1,5 miliar. Angka ini masih jauh dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2050, berdasarkan perhitungan IESR, yaitu sekitar USD 1,3 triliun pada 2050, atau sekitar USD 40-50 miliar per tahun mulai 2025.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Fabby menilai sinergi antar kementerian seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian BUMN, Bappenas dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) diperlukan untuk mendorong harmonisasi kebijakan yang menciptakan iklim investasi yang menarik bagi pelaku usaha dan investor.
“Pemerintah harus melakukan tinjauan kebijakan dan regulasi serta proses perijinan yang membuat investasi energi terbarukan tidak bankable," kata Fabby melalui keterangan tertulis, dikutip Rabu (23/10).
IESR mendorong pemerintahan Prabowo memperkuat kerja sama internasional, terutama kerja sama Selatan-Selatan, untuk mempercepat transisi energi dan memobilisasi investasi dan pendanaan. Salah satu peluangnya adalah memperkokoh kolaborasi dengan China.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, China menjadi investor terbesar kedua di Asia setelah Singapura pada 2023, dengan nilai investasi mencapai USD 7,44 miliar atau sekitar Rp 111, 6 triliun. Sementara, menurut American Enterprise Institute, khusus untuk sektor energi terbarukan, total investasi China ke Indonesia dari 2006 hingga 2022 mencapai USD 12,6 juta atau sekitar Rp 18,7 miliar.
ADVERTISEMENT
"IESR mencermati adanya potensi untuk meningkatkan investasi Tiongkok yang dapat mendukung pembangunan infrastruktur energi terbarukan di Indonesia," ujar Fabby.
Fabby memandang kerja sama dengan China dapat dilakukan di tiga sektor utama, yakni investasi infrastruktur energi terbarukan dan penyimpan energi, manufaktur dan rantai pasok teknologi energi terbarukan, dekarbonisasi industri, termasuk industri pengolahan mineral.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga perlu menyiapkan kerangka kerja sama strategis dengan China yang difokuskan pada tiga aspek yakni investasi, pembangunan rantai pasok industri energi bersih, dan dekarbonisasi industri khususnya penurunan emisi dari PLTU captive (captive coal power plant).
"Dalam jangka pendek, pemerintah bisa mencari sumber pendanaan lunak (concessional) untuk implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dari China, dengan mengedepankan kepentingan nasional dan asas saling menghormati,” ujar Fabby.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, mengungkapkan Indonesia dan China memiliki banyak potensi untuk mengembangkan kerja sama transisi energi yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi kedua negara, mulai dari dukungan untuk pengembangan infrastruktur energi terbarukan di Indonesia hingga potensi akses pendanaan dari China.
Kerja sama transisi energi antara Indonesia dan China, menurut Arief, termasuk low hanging fruit (strategis). Untuk dapat mengakses pendanaan berkelanjutan dari China, kedua negara dapat menyelaraskan standar investasi hijau untuk pembangunan berkelanjutan.
"Misalnya di Indonesia ada taksonomi hijau dan panduan investasi lestari, sementara di Tiongkok ada Green Investment Principle (Prinsip Investasi Hijau),” jelas Arief.