Investasi Industri Padat Karya Naik, tapi Dinilai Tidak Perluas Lapangan Kerja

10 Januari 2023 20:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pabrik mobil Daihatsu. Foto: Astra International
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pabrik mobil Daihatsu. Foto: Astra International
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menanggapi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang menyebut tren investasi industri padat karya pada 2022 meningkat diikuti dengan penyerapan tenaga kerja. Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wiraswasta, mengatakan naiknya investasi itu tidak diikuti dengan terbukanya lapangan kerja.
ADVERTISEMENT
“Investasi memang year on year (yoy) pasti naik. Untuk tahun kemarin, itu hasil drive kuartal I dan II karena ada sentimen positif kuartal IV tahun 2021 bahwa iklim investasi membaik lepas dari COVID-19,” kata Redma saat dihubungi kumparan, Selasa (10/1).
"Tapi kemudian ekspektasi langsung berubah pasca terjadi perang, itu bikin energi global seret dan BBM terpaksa naik, maka investor tidak balik modal. Tidak kalah penting, ekspor loyo dan banyak tersendat tahun lalu,” tambahnya.
Redma mengatakan investasi yang masuk kebanyakan disalurkan hanya untuk penambahan mesin pabrik, bukan membuat pabrik baru. Sehingga lapangan kerja jumlahnya tetap.
Selain itu, Redma merasa kenaikan BBM juga menyebabkan tingginya harga ongkos angkut (freight cost). Kenaikan harga yang signifikan tersebut juga menekan permintaan beberapa komoditas industri dalam negeri maupun ekspor.
ADVERTISEMENT
Freight cost itu menjadi mahal di penghujung tahun. Awalnya normal pada kuartal III, tetapi memuncak harga pada kuartal IV. Kombinasi naik (harga) BBM, inflasi harga, dan bencana alam menaikkan cost naik 20 sampai 33 persen,” tutur Redma.
Industri padat karya terindentifikasi pada subsektor industri pakaian jadi, industri tekstil, industri pengolahan tembakau, industri furnitur, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, industri makanan, dan industri minuman.
Tabel data perkembangan jumlah tenaga kerja industri padat karya tahun 2020-2022. Foto: Kementerian Perindustrian
"Dilihat dari tren nilai investasi, hampir sebagian besar industri padat karya mengalami kenaikan di tahun 2022. Situasi kenaikan ini tampak khususnya ketika dilihat mulai dari dua tahun sebelum pandemi (2018)," kata Direktur Ketahanan dan Iklim Usaha Industri Kemenperin, Binoni Tio A. Napitupulu, kepada kumparan, Senin (9/1).
ADVERTISEMENT

Investasi Naik, Rasio Serapan Tenaga Kerja Turun

Data Kementerian Investasi/BKPM memperlihatkan ada peningkatan investasi yang signifikan dari tahun 2013 ke 2021, namun dengan rasio serapan tenaga kerja yang justru menyusut.
Grafik data perkembangan nilai investasi dan rasio serapan tenaga kerja 2013-2021. Foto: Kementerian Investasi/BKPM
Pada 2013, jumlah investasi di Indonesia mencapai Rp 398,6 triliun, dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1,82 juta orang dan rasio serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi mencapai 4.591 pekerja.
Pada 2018, investasi di Indonesia naik menjadi Rp 721,3 triliun. Namun tenaga kerja yang terserap hanya 1,01 juta pekerja dengan rasio serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi mencapai 1.409 orang.
Peningkatan investasi terus berlanjut hingga 2021 dengan realisasi investasi mencapai Rp 901 triliun. Kenaikan itu tak diikuti kenaikan serapan tenaga kerja yang signifikan, yakni hanya 1,2 juta tenaga kerja, dan bahkan rasio serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi turun jadi 1.341 orang.
ADVERTISEMENT
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan menyoroti, nilai investasi dari 2013 menuju ke tahun 2021 semakin didominasi oleh sektor tersier atau padat modal.
"Di tahun 2021, sektor tersier mencapai hampir 50 persen, sedangkan untuk penyerapan tenaga kerja Indonesia di sektor tersier hanya sebesar 34 persen. Dapat diasumsikan bahwa sektor tersier memberikan kontribusi nilai investasi yang besar, dan penyerapan tenaga kerja Indonesia yang lebih kecil dibandingkan sektor sekunder," kata Ichwan kepada kumparan.
Ichwan menjelaskan, kenaikan investasi tanpa dibarengi kenaikan penyerapan tenaga kerja ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah adanya peralihan sektor investasi menjadi ke investasi padat modal. Yang kedua, adanya penggunaan teknologi yang semakin maju sehingga memangkas kebutuhan penggunaan tenaga kerja. Dan faktor terakhir adalah adanya perluasan usaha.
ADVERTISEMENT