Investasi PLTS Atap Dinilai Lebih Menarik Dibandingkan Deposito

24 Februari 2021 19:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas memeriksa instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (6/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas memeriksa instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (6/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah terus mendorong masyarakat memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di rumah. Dengan begitu, makin banyak pemanfaatan energi bersih sekaligus bisa menghemat tagihan listrik dari PT PLN.
ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Advokasi dan Edukasi Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Bambang Sumaryo mengatakan, pemasangan PLTS atap atau dikenal juga dengan nama rooftop photovoltaic (PV) ini bisa menjadi investasi masyarakat. Apalagi teknologi untuk memproduksi listrik dari energi matahari ini tidak hanya off grid, tapi on grid dan hybrid.
"Penghematannya bisa 84 persen. Sisanya itu 16 persen karena ada rekening minimum yang harus kita bayar (ke PLN). Intinya, pemasangannya PLTS atap sekarang make sense, dibanding ada uang nganggur ditaruh deposito," kata dia dalam diskusi Peran Energi Baru Terbarukan untuk Mewujudkan Sustainable City di Indonesia, Rabu (24/2).
Bambang menjelaskan, biaya investasi membangun PLTS atap sekitar Rp 138 juta dengan potensi penghematan per bulannya Rp 1,38 juta atau Rp 16,56 juta per tahun.
ADVERTISEMENT
Sedangkan konsumsinya, bisa dihemat juga. Semisal rumah tangga dengan daya 4.400 VA yang memiliki tagihan listrik bulan sekitar Rp 1,65 juta dapat menghemat sekitar 43 persen dengan pemasangan PLTS atap sistem on grid. Produk listrik rata-ratanya sekitar 550 kWh.
"Pemasangan PLTS atap on grid dan off grid ini lebih baik dari bunga deposito. Dengan memasang ini, kita bisa dapatkan return on investment 12 persen per tahun," ujarnya.
Seorang warga melintas di bawah panel surya Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/1). Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Meski begitu, Bambang mengungkapkan ada sejumlah hambatan dalam pengembangan PLTS atap ini. Salah satunya pendanaan di awal, bunga bank yang diberikan relatif tinggi. Belum lagi, produk yang dibutuhkan seperti panelnya banyak yang masih impor.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan, secara teknis, listrik yang dihasilkan masyarakat dari PLTS atap selain digunakan sehari-sehari, bisa juga ditransfer ke PLN apabila sistem yang dipakai di rumah menggunakan on grid.
ADVERTISEMENT
Biasanya listrik dari PLTS atap ditransfer ke PLN saat pemakaian di rumah menurun, misalnya siang hari. Dalam proses transfer atau menitipkan listrik ke PLN ini ada biayanya yaitu berupa pengurangan kWh ketika pelanggan mau memakainya lagi.
Pengurangan kWh PLTS atap saat ini sebesar 35 persen. Artinya, daya yang bisa diambil pelanggan hanya 65 persen. Sebelumnya, daya yang dititipkan bisa dipakai hingga 100 persen.
"Dulu juga 100 persen, terus PLN usulkan jadi (dapat bagian) 35 persen. Sekarang kita bahas lagi agar naik lagi supaya semangat. Kita coba naikkan dari 65 persen mungkin jadi 75 persen. Tapi pasti ada biaya titipnya," kata Dadan dalam acara yang sama.
Sedangkan PLTS atap dengan sistem off grid tidak perlu menitipkan listrik yang diproduksi di atap rumah warga ke PLN. Listrik yang berlebih itu bisa disimpan melalui storage baterai listrik.
ADVERTISEMENT