Investasi RI Naik 15,9% per Maret 2025, Perizinan Berusaha Perlu Dipermudah

7 Mei 2025 17:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Buruh Pabrik. Foto: Algi Febri Sugita/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buruh Pabrik. Foto: Algi Febri Sugita/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kementerian Investasi mencatat realisasi investasi pada Januari-Maret 2025 mencapai Rp 465,2 triliun, naik 15,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 401,5 triliun. Meski demikian, perizinan berusaha masih menjadi salah satu hambatan bagi investor.
ADVERTISEMENT
Pada 2024, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan cost of doing business atau biaya yang dikeluarkan untuk berbisnis bagi pengusaha di Indonesia paling tinggi dibandingkan empat negara tetangga lainnya yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Hal ini menjadikan Indonesia negara yang tidak kompetitif dari kaca mata pelaku industri.
Menurut Apindo, biaya tinggi yang dikeluarkan pengusaha di antaranya untuk membayar logistik, serta bunga pinjaman bank. Biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 13 persen serta tertinggal jauh dari Singapura yang hanya 8 persen. Kemudian suku bunga kredit di Indonesia berkisar antara 8-14 persen, lebih tinggi dari empat negara lainnya yang hanya 4-6 persen.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat mengatakan, hal tersebut dikhawatirkan berimbas ke pekerja/buruh. Untuk itu, ia mendukung agar pemerintah memberi kemudahan bagi investor untuk bisa memulai kegiatan bisnisnya.
“Di dunia industri Indonesia, ada daftar urutan hambatan investasi. Hambatan nomor satu itu masalah regulasi, mulai dari perizinan, perpajakan, pengadaan tanah, macam-macam,” papar Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat dalam keterangannya, Rabu (7/5).
Ilustrasi pabrik di China. Foto: GreenOak/Shutterstock
Di sisi lain, dinamika perburuhan menempati urutan ke-11 dari daftar faktor yang menghambat masuknya modal ke Indonesia. Menurut Jumhur, tuntutan peningkatan kesejahteraan yang digaungkan kelompok buruh di Indonesia tidak terlalu berpengaruh ke minat investor.
“Untuk upah ini kan ada benchmarking-nya. Apa yang dituntut buruh itu masih masuk akal dibandingkan dengan di Vietnam atau Filipina,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, saat ini merupakan momentum bagi pemerintah untuk merealisasikan janjinya mensejahterakan masyarakat. Caranya adalah dengan memangkas perizinan, sehingga semakin banyak tenaga kerja yang terserap oleh industri yang otomatis mengurangi jumlah pengangguran.
“Izin-izin itu kan duit semua. Nah pemerintah itu tahu dan bisa, kalau semua itu di drop maka perusahaan-perusahaan bisa tumbuh dan memberikan kesejahteraan yang layak bagi buruh. Itu tugasnya pemerintah,” jelasnya.
Selain itu, bunga tinggi yang diminta perbankan sebagai syarat pemberian kredit menurut mantan Kepala BNP2TKI adalah salah satu contoh hal tidak produktif yang merugikan Indonesia.
“Negara tetangga bisa cuma 6-7 persen, lalu kenapa bunga bank di Indonesia harus sampai 13-15 persen untuk UMKM dan lain-lain. Jadi keuntungan sebagian besar diambil untuk hal-hal yang nggak produktif. Tapi kalau itu dikembalikan ke perusahaan, dikembalikan ke buruh, itu menjadi daya beli dan jadi penghidupan lagi bagi yang lain,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurut Jumhur,pemerintah bisa merealisasikan misi mensejahterakan rakyat. Terlebih, Presiden Prabowo Subianto sangat mengedepankan dialog dengan semua elemen rakyat untuk membangun Indonesia.
Jumhur berpendapat rendahnya daya beli masyarakat Indonesia saat ini adalah imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya yang harus diurai satu per satu.
“Carry over yang paling parah dan mengerikan dari kebijakan masa lalu adalah daya beli masyarakat yang terpukul habis. Bayangkan di 2014 itu saldo harian rata-rata rakyat di perbankan masih Rp 3,8 juta. Sekarang tinggal Rp 1,3 juta, artinya daya beli anjlok. Kalau orang nggak punya uang, industri juga pasti terpukul,” kata Jumhur.
Untuk bisa mengembalikan daya beli masyarakat, Jumhur kembali mendesak pemerintah untuk bisa mempermudah investasi yang masuk. Sekaligus menekan biaya berbisnis yang harus dikeluarkan pengusaha. Harapannya dengan semakin banyak pembukaan lapangan kerja, maka uang yang dibelanjakan para buruh bisa kembali menggerakkan roda perekonomian.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah sebagai pembuat kebijakan saat ini sangat terbuka untuk mendapat masukan orang-orang yang berkecimpung langsung di bidang-bidangnya. Anggaplah selama 6 bulan sampai 1 tahun ke depan ini adalah fenomena sementara. Semoga dengan berdialog dan membuat kebijakan yang tepat bisa menghasilkan hasil yang baik bagi rakyat,” jelasnya.