Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
IOJI Soroti Kesepakatan Prabowo-Xi Jinping di Sektor Maritim
13 November 2024 21:16 WIB
·
waktu baca 11 menitADVERTISEMENT
Pertemuan Presiden Prabowo dan Presiden China Xi Jinping di Beijing, Sabtu (9/11), menghasilkan 7 kesepakatan. Salah satunya di bidang maritim dalam “Joint Statement between the People’s Republic of China and the Republic of Indonesia on Advancing the Comprehensive Strategic Partnership and the China-Indonesia Community with a Shared Future"
ADVERTISEMENT
Kesepakatan kedua negara ini menuai sorotan dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) sebagai wadah pemikir (think tank) independen dan nirlaba. Setidaknya ada 10 poin yang menjadi catatan dan masukan untuk pemerintahan Prabowo.
A. “Overlapping Maritime Claims”
1. Pada butir 9 Joint Statement, yang berjudul “The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation” (kedua pihak akan bersama-sama menciptakan semakin banyak titik terang pada kerjasama maritim) disebutkan “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims and agreed to establish an Inter-Governmental Joint Steering Committee to explore and advance relevant cooperation based on the principles of "mutual respect, equality, mutual benefit, flexibility, pragmatism, and consensus-building," pursuant to their respective prevailing laws and regulations.” (kedua pihak mencapai kesepahaman penting mengenai kerjasama pembangunan di area tumpang tindih klaim dan bersepakat untuk membentuk Komite Pengarah Bersama Antar Pemerintah untuk mengeksplorasi dan meningkatkan kerjasama yang relevan berdasarkan prinsip-prinsip “saling menghormati, persamaan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme dan membangun konsensus” sesuai dengan hukum masing-masing yang berlaku)
ADVERTISEMENT
2. Tidak terdapat tumpang tindih klaim maritim antara Indonesia dan Tiongkok karena klaim “nine-dash line” oleh Pemerintah Tiongkok telah dinyatakan tidak sah oleh the Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016. Di dalam dokumen PCA Award disebutkan, “… China’s claims to historic rights, or other sovereign rights or jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China Sea encompassed by the relevant part of the ‘nine-dash line’ are contrary to the Convention and without lawful effect to the extent that they exceed the geographic and substantive limits of China’s maritime entitlements under the Convention. The Tribunal concludes that the Convention superseded any historic rights or other sovereign rights or jurisdiction in excess of the limits imposed therein.”
Klaim Tiongkok atas hak kesejarahan atau hak berdaulat lainnya atau yurisdiksi, yang berhubungan dengan area maritim Laut Cina Selatan yang dicakup oleh sembilan garis putus, bertentangan dengan UNCLOS dan tidak memiliki kekuatan hukum karena melampaui batas geografis dan batasan hak-hak Tiongkok sebagaimana diatur di dalam UNCLOS. Pengadilan menyimpulkan bahwa UNCLOS menggantikan segala hak kesejarahan atau hak berdaulat lainnya atau yurisdiksi yang melampaui batas-batas yang diatur di dalam UNCLOS.)
ADVERTISEMENT
3. Pertimbangan dari putusan PCA tersebut didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:
a. Klaim historic rights valid saat hak yang dimaksud adalah hak selain dari yang diperbolehkan menurut freedom of the high seas. Intensnya kegiatan pelayaran dan perikanan Tiongkok di South China Sea dapat terjadi karena hak tersebut. Freedom of the high seas adalah hak segala bangsa sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk mengklaim secara eksklusif historic rights;
b. Selain itu, sebuah negara harus dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat untuk dapat mengklaim historic rights. Bukti-bukti tersebut harus memenuhi tiga unsur: (i) hak dimaksud telah dinikmati/dilaksanakan secara lama dan terus menerus; (ii) selama melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada poin (i), negara tersebut juga melarang dan mencegah negara lain untuk menikmati hak dimaksud; dan (iii) negara-negara selain dari yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada poin (i) menerima/setuju dengan larangan dan pencegahan tersebut.
ADVERTISEMENT
c. Klaim “nine-dash line” tidak sesuai dengan UNCLOS karena jauh melebihi batas zona maritim yang telah diatur (Paragraf 261 PCA Award 2016);
d. Dengan meratifikasi UNCLOS, hak-hak negara Tiongkok yang mungkin pernah mereka miliki di masa lampau dikesampingkan (Paragraf 262 PCA Award 2016);
e. Dengan meratifikasi UNCLOS, Tiongkok melepas freedom of the high seas yang dulu dapat mereka nikmati karena wilayah tersebut menjadi Zona Ekonomi Eksklusif negara lain (Paragraf 271 PCA Award 2016). Perlu dipahami bahwa sebelum lahirnya UNCLOS, tidak ada Zona Ekonomi Eksklusif.
4. Pada faktanya, banyak negara yang melakukan kegiatan pelayaran dan perikanan di Laut China Selatan dan juga banyak negara menyampaikan keberatan atas klaim “nine-dash line” antara lain: Filipina pada tanggal 6 Maret 2020; Vietnam pada tanggal 30 Maret 2020; Amerika Serikat pada tanggal 1 Juni 2020; Republik Indonesia pada tanggal 12 Juni 2020; Australia pada tanggal 23 Juli 2020; Malaysia pada tanggal 29 Juli 2020; serta Prancis, Jerman, dan Kerajaan Inggris Raya secara bersamaan pada tanggal 16 September 2020.
ADVERTISEMENT
5. Pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri pada tanggal 11 November 2024 juga telah menyebutkan: “Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim “Nine-Dash-Lines”. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.
6. Pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri RI diatas juga perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan tidak melanjutkan pembahasan joint development in areas of overlapping claims. Hal ini menimbang bahwa joint development dimaksud merujuk pada “areas of overlapping claims” yang sama sekali tidak memiliki basis dalam hukum internasional dan secara konsisten tidak pernah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
7. Pemerintah RI dan Pemerintah Tiongkok pernah menandatangani Memorandum Saling Pengertian tentang Penguatan Kerja Sama Maritim pada tahun 2021 (Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the People’s Republic of China on Strengthening Maritime Cooperation) yang menegaskan mengenai keberlakuan UNCLOS 1982 atas kerangka kerjasama maritim tersebut (Reaffirming the UNCLOS 1982).
Dengan demikian, tindak lanjut kerja sama bilateral antara Pemerintah RI dan Tiongkok dalam urusan maritim wajib didasarkan pada Memorandum tersebut daripada membuat perjanjian bilateral terkait joint development yang berangkat dari hipotesis yang keliru tentang adanya tumpang tindih klaim maritim antara Indonesia dan Tiongkok.
8. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada tumpang tindih klaim maritim antara Indonesia dan Tiongkok karena “nine-dash line” bertentangan dengan UNCLOS dan tidak memiliki kekuatan hukum (contrary to the UNCLOS and without lawful effect) dan oleh karenanya Pemerintah RI tidak perlu melanjutkan pembahasan mengenai joint development in areas of overlapping claims.
ADVERTISEMENT
B. Kerjasama dalam Bidang Perikanan
1. Disamping wacana tentang “joint development in areas of overlapping claims” yang telah dianalisis di atas, Pemerintah RI dan Pemerintah RRT juga menyatakan komitmennya meneruskan kerjasama di seluruh rantai proses industri perikanan dalam Joint Statement.
2. Bersamaan dengan itu, berdasarkan Siaran Pers KKP NOMOR: SP.404/SJ.5/XI/2024, Menteri Kelautan dan Perikanan, pada tanggal 9 November 2024, menandatangani Pedoman Kerjasama Teknis (TCG) dengan Menteri Pertanian dan Urusan Pedesaan RRT.
3. TCG ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 4 Implementing Agreement between the Ministry of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia and the Ministry of Agriculture and Rural Affairs of the People’s Republic of China on Fisheries Cooperation (Pengaturan Pelaksanaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Kementerian Pertanian dan Urusan Pedesaan Republik Rakyat Tiongkok tentang Kerjasama Perikanan. Dokumen ini selanjutnya disebut “Implementing Agreement”) yang ditandatangani pada tanggal 6 September 2023.
ADVERTISEMENT
4. Pasal 4 Implementing Agreement mengatur bahwa kerjasama dan langkah-langkah pelaksanaan kerjasama di bidang perikanan ditentukan/diatur dalam sebuah dokumen pedoman kerja sama teknis terpisah. Tujuh area kerjasama yang diatur dalam implementing agreement adalah (i) penguatan sistem kesehatan, kualitas dan keamanan ikan dan produk perikanan; (ii) promosi penanaman modal dalam pengolahan produk perikanan, perikanan budidaya, dan perikanan tangkap, termasuk melalui skema modal bersama (joint venture); (iii) promosi dan pemasaran ikan dan produk perikanan; (iv) kerjasama teknis di bidang perikanan tangkap; (v) pemberantasan penangkapan ikan yang tidak sah, tidak diatur, dan tidak dilaporkan; (vi) perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan dari spesies laut yang terancam punah; dan (vii) pendidikan bersama mengenai topik-topik/hal-hal yang dibutuhkan oleh sektor perikanan.
ADVERTISEMENT
5. Berdasarkan Siaran Pers KKP tersebut, terdapat 12 bagian pengaturan kerjasama dalam TCG, diantaranya mengenai perusahaan patungan (joint venture), kapal, hingga kuota penangkapan ikan. Menimbang ketiadaan akses publik terhadap dokumen TCG hingga sekarang, ada kekhawatiran yang kuat TCG tersebut membuka akses penanaman modal asing (PMA) dari Tiongkok ke industri perikanan tangkap Indonesia tanpa memenuhi persyaratan yang diatur dalam UNCLOS. Merujuk pada bentuk kerjasama yang telah disepakati dalam Pasal 3 Implementing Agreement, tidak dituliskan secara eksplisit apakah bentuk kerjasamanya meliputi pembukaan akses penanaman modal asing dari Tiongkok ke industri perikanan tangkap Indonesia. Bentuk kerjasama yang tercantum secara eksplisit dalam Pasal 3 Implementing Agreement adalah (i) pertukaran kunjungan antara pejabat dan ahli, (ii) pertukaran data dan informasi tentang sektor terkait perikanan, (iii) peningkatan kapasitas dan kegiatan pertukaran pengetahuan, serta (iv) bentuk kerjasama lainnya yang disepakati bersama oleh para pihak.
ADVERTISEMENT
6. Bahwa sejak tahun 2023, peraturan perundang-undangan Indonesia mengizinkan sektor perikanan tangkap dibuka kembali untuk PMA. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, badan usaha berbadan hukum pelaku PMA diberikan kuota industri untuk penangkapan ikan. Kuota industri diberikan pada kegiatan penangkapan ikan di setiap zona PIT di atas 12 mil laut. Artinya, kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (‘ZEEI’) diizinkan untuk badan hukum PMA. Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
7. IOJI menegaskan pembukaan akses terhadap sumber daya ikan diatur secara ketat oleh UNCLOS dan pemerintah wajib untuk memastikan terpenuhinya persyaratan-persyaratan tersebut. Pasal 62 ayat (2) UNCLOS mengatur pembukaan akses kepada sumber daya ikan Indonesia kepada pihak asing hanya dapat dilakukan jika: (i) Indonesia tidak dapat memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan; dan (ii) akses dimaksud diprioritaskan kepada negara land-locked States dan geographically disadvantaged States yang merupakan negara berkembang.
ADVERTISEMENT
8. Pasal 62 ayat (3) UNCLOS juga mengatur beberapa hal lain yang harus diperhitungkan oleh pemerintah RI dalam membuka akses terhadap sumber daya ikan Indonesia kepada pihak asing, antara lain, namun tidak terbatas pada:
“(a) the significance of the living resources of the area to the economy of the coastal State concerned and its other national interests, (b) the provisions of articles 69 and 70, the requirements of developing States in the subregion or region in harvesting part of the surplus and (c) the need to minimize economic dislocation in States whose nationals have habitually fished in the zone or which have made substantial efforts in research and identification of stocks.”
ADVERTISEMENT
(a) signifikansi sumber daya hati yang ada di area tertentu terhadap perekonomian negara pantai dan kepentingan nasional lainnya;
(b) prioritas akses terhadap sumber daya ikan kepada negara-negara yang terkurung daratan dan secara geografis kurang beruntung sebagaimana dimaksud pada Pasal 69 dan 70 UNCLOS, dan
(c) perlunya meminimalisir dislokasi ekonomi terhadap negara yang warga negaranya sudah secara turun temurun melakukan penangkapan ikan di area tersebut atau yang telah mengeluarkan upaya yang besar untuk riset dan identifikasi stok ikan.)
9. Selama hal-hal tersebut pada poin nomor 7 di atas belum terpenuhi, maka pembukaan akses terhadap modal asing terhadap sumber daya perikanan Indonesia tidak dapat dilaksanakan.
10.Hasil audit kepatuhan yang dilakukan oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan IUU Fishing pada tahun 2015-2016 mengungkap praktik bisnis perusahaan perikanan penanaman modal asing di masa lampau dan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut telah membawa dampak buruk antara lain praktik illegal, unreported and unregulated fishing, perdagangan orang (human trafficking) dan munculnya berbagai tindak pidana lainnya contohnya penyelundupan dan penghindaran pajak.
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
ADVERTISEMENT
1. Kerjasama ekonomi dengan Tiongkok, dan berbagai negara lainnya, wajib dilaksanakan sejalan dengan kewajiban konstitusional (constitutional imperatives) sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yaitu “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
2. Prinsip perekonomian nasional yang diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tidak seluruhnya sejalan dengan prinsip-prinsip kerjasama sebagaimana tercantum dalam joint statement yaitu “mutual respect, equality, mutual benefit, flexibility, pragmatism, and consensus-building". Perbedaan paling mencolok adalah ketiadaan prinsip berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan. Hal ini tidak dapat dibenarkan di tengah situasi perubahan iklim dan kepunahan keanekaragaman hayati yang dihadapi oleh hampir semua negara, termasuk Indonesia dan Tiongkok.
ADVERTISEMENT
3. Pemerintah RI tidak mengadakan perundingan apapun yang berkaitan dengan joint development in areas of overlapping claims karena Indonesia dan Tiongkok tidak memiliki overlapping claims.
4. Pemerintah RI menahan diri untuk membuka akses terhadap sumber daya ikan Indonesia kepada pihak asing dan melaksanakan ketentuan Pasal 62 ayat (2) dan (3) UNCLOS untuk kepentingan nasional. Kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia tidak untuk dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.