Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Isu Nasionalisme Jokowi dan Prabowo Bikin Gerah Perusahaan Migas Asing
4 Desember 2018 11:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB

ADVERTISEMENT
Di tahun politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019, sentimen nasionalisme dalam pengelolaan sumber daya alam menguat. Baik Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) maupun Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, keduanya cenderung anti asing.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kesempatan, berulang kali Jokowi memamerkan keputusannya untuk tidak memperpanjang kontrak Chevron Pacific Indonesia di Blok Rokan dan Total E&P Indonesie di Blok Mahakam. Jokowi menyebut kedua ladang minyak raksasa itu puluhan tahun 'dikuasai' perusahaan migas asing dan kini di bawah kepemimpinannya diserahkan pada PT Pertamina (Persero).
Prabowo pun tak jauh beda, sentimen nasionalisme ditunjukkan lewat kritik-kritiknya yang menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia dikuasai asing, termasuk sektor migas.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa kampanye yang mengangkat isu anti asing ini berdampak negatif pada investasi hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Keputusan Jokowi soal Blok Mahakam dan Rokan misalnya, membuat investor asing berpikir ulang untuk masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Mazhab politik kedua capres tidak jauh berbeda. Dua-duanya mengusung sentimen nasionalisme. Isu nasionalisme memberikan dampak, paling tidak ada preseden dari Blok Mahakam dan Rokan. Ini jadi catatan bagi investor asing yang mau ke Indonesia," kata Komaidi kepada kumparan, Selasa (4/12).

Kecenderungan anti asing meningkatkan ketidakpastian bagi perusahaan-perusahaan migas dari luar negeri yang beroperasi di Indonesia. Menurut Komaidi, perusahaan-perusahaan migas asing untuk sementara akan menunda investasinya di Indonesia.
"Mereka butuh jaminan lebih besar dibanding teman-teman (perusahaan migas) yang nasional, mereka lebih butuh kepastian jangka panjang. Paling tidak mereka akan berhati-hati (di tahun politik)," ujarnya.
Apalagi, Komaidi menambahkan, sebenarnya iklim investasi hulu migas di Indonesia sudah jelek. Sentimen nasionalisme semakin memperburuk situasi. Menjelang Pilpres, pemerintah sudah sibuk dengan urusan politik. Masalah-masalah di hulu migas diabaikan, sulit berharap ada perbaikan dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Komaidi menyebut revisi atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) sebagai contoh. Para anggota DPR RI sekarang sudah sibuk kampanye ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing, RUU Migas dipastikan belum akan dibahas dalam waktu dekat.
Padahal ini penting sekali karena badan yang bertanggung jawab atas kegiatan usaha hulu migas, yakni SKK Migas, tak punya dasar hukum setelah pada 2012 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Migas.
"Iklim investasi hulu kurang menarik dan tidak kompetitif untuk PMA (Penanaman Modal Asing). Sekitar 60 persen ketentuan UU Migas sudah dibatalkan MK. Masalahnya banyak sekali. KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) bekerja dengan badan yang tidak ada dasarnya di Undang Undang. Potensi masuk anginnya sangat besar. Investasi hulu migas akan terkoreksi meski ada perbaikan harga minyak. Masalah-masalah fundamental pemerintah tak jadi perhatian pada tahun politik. Untuk ekspansi, investor akan menahan dulu terutama yang nonnasional," paparnya.

Masalah-masalah di sektor hulu migas memang tak menarik bagi politisi yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek. Kebijakan-kebijakan di industri hulu migas baru akan berdampak pada jangka panjang, di atas 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Maka ketika pemerintahan saat ini melakukan perbaikan, hasilnya baru akan terlihat pada masa pemerintahan berikutnya. Tentu secara hitung-hitungan politik itu tidak menguntungkan.
Butuh presiden yang punya sikap kenegarawanan tinggi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di hulu migas, yakni presiden yang tidak hanya menghitung untung rugi suatu kebijakan berdasarkan perhitungan politis.
"Apa yang dilakukan hari ini (di hulu migas) dipanen 5-6 tahun ke depan. Dibutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko. Mengambil kebijakan tidak populis yang dampak positifnya baru dirasakan pada masa pemimpin berikutnya. Jarang ada pemimpin yang mau mengambil itu," tutupnya.
Sebelumnya diberitakan, dalam berbagai kesempatan Jokowi memamerkan keputusannya untuk tidak memperpanjang kontrak perusahaan-perusahaan migas asing seperti PT Chevron Pacific Indonesia di Blok Rokan dan Total E&P Indonesie di Blok Mahakam. Blok Rokan adalah ladang minyak terbesar Indonesia, sedangkan Blok Mahakam adalah ladang gas terbesar Indonesia. Keduanya diserahkan kepada PT Pertamina (Persero).
ADVERTISEMENT
"Yang namanya Blok Mahakam, yang dulu dimiliki Prancis dan Jepang, 100 persen kita berikan kepada Pertamina. Kita ambil, kita berikan ke Pertamina. Blok Rokan, dulu dikelola oleh Chevron, Amerika, sudah sekarang diambil oleh Pertamina 100 persen juga," tuturnya saat pembukaan Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor Angkatan XII Tahun 2018 di Gedung Tegar Beriman, Cibinong, Bogor, Rabu (8/8).
Meski demikian, Menteri ESDM Ignasius Jonan membantah bahwa keputusan-keputusan pemerintah soal Blok Mahakam dan Rokan didasari oleh sentimen nasionalisme. Menurutnya, keputusan diambil berdasarkan pertimbangan komersial yang fair. "Ini komersial aja. Kebetulan Pertamina menawarkan kompensasi yang lebih besar, ya kita ambil itu. Kan sama-sama badan usaha. Kalau waktu itu Pertamina enggak mau ikut, ya sudah ke Chevron lagi," ujarnya saat diwawancara kumparan, Selasa (14/8).
ADVERTISEMENT