Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Isu Sri Mulyani dan Airlangga Mundur, Apa Dampaknya bagi Ekonomi?
15 Maret 2025 18:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Isu mengenai rencana pengunduran diri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dari kabinet Presiden Prabowo Subianto telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan pelaku pasar.
ADVERTISEMENT
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menanggapi dengan menyatakan meskipun isu tersebut telah dibantah, jika benar terjadi, hal ini akan berdampak buruk. Ia menekankan Airlangga dan Sri Mulyani adalah menteri senior yang memiliki kredibilitas di mata investor dan pelaku usaha, dengan skor yang bagus relatif terhadap menteri-menteri lainnya.
“Jika ini terjadi, akan berdampak buruk. Mereka berdua adalah menteri senior,termasuk yang punya kredibilitas di mata investor dan pelaku usaha. Skor mereka berdua termasuk bagus relatif terhadap menteri-menteri yang lain,” kata Wija kepada kumparan, Sabtu (15/3).
Sementara Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, memberikan pandangan yang berbeda. Menurut Bhima, isu pengunduran itu justru dapat memberikan sentimen positif di pasar.
ADVERTISEMENT
“Isu rencana resign Sri Mulyani dan Airlangga mungkin habis lebaran, artinya ini sentimen yang positif sebenarnya di pasar,” kata Bhima kepada kumparan, Sabtu (15/3).
Ia menilai selama ini pendekatan yang dilakukan oleh Sri Mulyani dalam mengelola penerimaan pajak negara kurang sejalan dengan kebutuhan pemerintahan Prabowo. Bhima menyoroti penurunan signifikan penerimaan pajak yang disebabkan oleh permasalahan administrasi yang tidak disiapkan dengan matang, yang berdampak luas dan signifikan.
Selain itu, Bhima juga menyoroti ketidakmampuan Sri Mulyani dalam menahan laju utang pada era Presiden Joko Widodo.
“Sri Mulyani tidak mampu mengerem utang pada era Jokowi, pembangunan infrastrukturnya tidak terencana dengan baik dan akhirnya utang dari pemerintah yang sangat besar, bunganya besar. Panik lah sekarang di 2025 dilakukan efisiensi anggaran besar-besaran,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut bahwa pembangunan infrastruktur yang tidak terencana dengan baik menyebabkan utang pemerintah membengkak dengan bunga yang besar. Akibatnya, pada tahun 2025, pemerintah harus melakukan efisiensi anggaran besar-besaran tanpa perencanaan yang matang, bahkan hingga mengganggu pengangkatan CPNS dan PPPK, yang pada gilirannya menggerus popularitas Presiden Prabowo.
Bhima menekankan, ketidakpuasan terhadap kebijakan anggaran dan perpajakan menjadi salah satu ganjalan bagi Prabowo, sehingga peran Sri Mulyani dianggap sudah tidak relevan lagi dalam membantu pemerintahan saat ini.
Mengenai Airlangga Hartarto, Bhima menilai bahwa banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan paket-paket stimulus yang belum mampu mendorong daya beli masyarakat menunjukkan kurang efektifnya koordinasi antar kementerian di bidang ekonomi. Ia juga menyoroti bahwa sejak Sri Mulyani langsung berada di bawah presiden, posisi Airlangga sebagai Menteri Koordinator Perekonomian seolah berjalan sendiri-sendiri.
ADVERTISEMENT
Bhima menambahkan, meskipun Sri Mulyani telah dibantu oleh tiga wakil menteri keuangan, termasuk Anggito Abhimanyu, hal tersebut belum memberikan dampak signifikan. Ia juga mengkritisi penundaan pembentukan Badan Penerimaan Negara oleh Sri Mulyani, padahal badan tersebut dapat lebih fokus dalam mengejar penerimaan pajak dan meningkatkan kepatuhan perpajakan.
Bhima berpendapat, pasar akan merespons positif jika pengganti Sri Mulyani berasal dari kalangan teknokrat. Sebaliknya, pasar akan merespons negatif apabila pengganti Sri Mulyani berasal dari politisi, apalagi yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Prabowo.
Ia mengingatkan bahwa sebelumnya, ketika Thomas Djiwandono masuk menjadi wakil menteri keuangan, kredibilitas Kementerian Keuangan sempat menurun. Oleh karena itu, Bhima menekankan pengganti Sri Mulyani maupun Airlangga Hartarto seharusnya berasal dari teknokrat atau birokrat karier yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan presiden, sehingga dapat bekerja secara profesional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Bhima menekankan, menteri yang baru harus mampu berkomunikasi dengan pelaku usaha dan pasar, serta berani mendorong kebijakan-kebijakan progresif seperti pajak karbon, pajak kekayaan, dan penerapan Global Minimum Tax untuk menurunkan insentif pajak yang tidak tepat sasaran.
Ia juga menyebut pentingnya disiplin fiskal dan kemampuan menolak program-program populis yang tidak sesuai dengan ketersediaan anggaran. Bhima menutup dengan menekankan bahwa kedua menteri tersebut sudah tidak relevan lagi di pemerintahan Prabowo, mengingat indikator pasar yang menunjukkan kurangnya kepercayaan sejak mereka melanjutkan pos sebagai menteri di era Prabowo.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, dirinya sudah menanyakan langsung kepada pemerintah. Hasilnya, isu reshuffle dalam waktu dekat tidak benar.
“Kemarin yang saya tahu pertemuan itu adalah pertemuan berbuka puasa sambil membahas keadaan ekonomi terkini dan saya sudah juga cek kepada pemerintah belum ada rencana reshuffle dan kalau kepada Bu Sri Mulyani juga belum sempat,” kata Dasco usai meninjau MinyaKita di Kramat Jati, Jakarta Timur pada Jumat (14/3).
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani bertemu dengan Prabowo di Istana Jakarta pada Rabu (12/3). Terlihat pertemuan mereka cukup hangat.
Ketua Harian DPP Gerindra ini menyebut, isu reshuffle dalam waktu dekat tidak berdasar. Menurutnya, hubungan Prabowo dan Sri Mulyani sangat baik.
“Tapi kalau melihat pertemuan buka puasa kemarin yang seperti teman-teman lihat di media, keduanya penuh keakraban, saya pikir isu yang dibuat di luar itu adalah isu yang tidak berdasar dan membuat semangat berpuasa menjadi kendur,” pungkasnya.