Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Presiden Joko Widodo menatap dingin Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani yang duduk di meja seberang. Sehari setelah mati listrik massal menyergap Banten, DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Barat sejak hari Minggu, 4 Agustus, pukul 11.48 WIB, Jokowi meminta penjelasan kepada jajaran direksi PLN esok paginya.
“Penjelasannya panjang sekali ya. Pertanyaan saya, Bapak, Ibu, semuanya kan orang pintar-pintar, apalagi urusan listrik dan sudah bertahun-tahun. Apakah tidak dihitung, apakah tidak dikalkukasi kalau akan ada kejadian-kejadian sehingga kita tahu sebelumnya. Kok tahu-tahu drop,” tegur Jokowi setelah mendengar penjelasan panjang lebar Sripeni.
"Saya tahu ini tidak hanya bisa merusak reputasi PLN, namun banyak hal di luar PLN terutama konsumen sangat dirugikan, (termasuk) pelayanan transportasi umum. Sangat berbahaya sekali," ucap Jokowi ketus.
Sripeni, yang baru dua hari jadi pejabat sementara direktur utama, tertunduk lesu dan meminta maaf. Ia menjelaskan gangguan di jalur Ungaran dan Pemalang, Jawa Tengah, yang menjadi tulang punggung empat sirkuit pengalir listrik untuk menghidupi Jawa dan Bali jadi sebab gulita menyergap barat Jawa.
Namun Jokowi tak bisa menyembunyikan rasa kecewa karena manajemen PLN gagal mengantisipasi hal tersebut. Dengan singkat dan tegas, Jokowi meminta kepada PLN agar tak ada lagi kejadian serupa terulang.
“Sekali lagi saya ulang, jangan sampai terulang kembali. Itu saja permintaan saya. Oke terima kasih,” kata Jokowi sebelum berlalu pergi.
Senin pagi itu, Jokowi tiba di kantor pusat PLN, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pukul 08.45 WIB. Lebih cepat 15 menit dari jadwal yang diagendakan. Berkemeja putih seperti biasanya, ia ditemani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara Hinsa Siburian.
Sementara Menteri BUMN, Rini Soemarno, tak bisa hadir sebab ia berangkat haji pada Minggu pagi (4/8) bersama Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Fajar Harry Sampurno; dan Staf Khusus Menteri BUMN Wianda Poesponegoro.
Selain itu, ikut juga sejumlah direktur utama (Dirut) BUMN, seperti Dirut Bank BNI Achmad Baequni, Dirut Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo, Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin, Dirut Pertamina Nicke Widyawati, dan sejumlah bos BUMN lainnya.
Tata kelola listrik yang andal mendapat perhatian khusus di masa pemerintahan Jokowi. Untuk mewujudkannya, pemerintah menerbitkan megaproyek listrik 35 ribu megawatt pada Mei 2015 yang akan dibangun selama 5 tahun. Harapannya, proyek ambisius nan mahal ini bisa jadi solusi ketimpangan infrastruktur listrik di Nusantara.
“Karena setiap saya ke daerah di provinsi manapun, keluhannya sama. Listriknya byarpet, sehari mati empat kali, sehari mati delapan kali, sehari mati dua kali, listriknya mati, listriknya kurang. Itu yang saya temui di setiap daerah,” kata Jokowi kepada 150 investor industri kelistrikan di Istana Negara pada Selasa, 22 Desember 2015.
Tapi proyek 35 ribu megawatt tak berjalan sesuai harapan. Sampai dengan 15 Juni 2019, baru 3.617 MW atau 10 persen proyek yang telah COD (Commercial Operation Date). Mayoritas masih berada dalam tahap konstruksi sebesar 20.119 MW atau 57 persen.
PLN sebagai pengelola tunggal distribusi listrik di Indonesia tampak kewalahan dalam mewujudkan ambisi proyek listrik 35 ribu megawatt itu. Penyebabnya antara lain ketiadaan anggaran untuk membangun pembangkit-pembangkit baru membuat PLN harus mencari utang, dan secara langsung membebani keuangan perusahaan.
“PLN juga dalam beberapa waktu terakhir juga mengalami tekanan-tekanan yang ada kaitannya dengan struktur keuangan mereka karena dihadapkan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan investasi, pemenuhan akan proyek 35 ribu megawatt. Ini kemudian menyebabkan terjadinya beberapa hal yang dari beberapa sisi membuat tekanan-tekanan,” ujar pengamat BUMN, Toto Pranoto, kepada kumparan, Rabu (7/8).
Imbas paling terasa adalah melonjaknya jumlah utang perusahaan pelat merah tersebut. PLN mencatatkan total utang perusahaan naik 1,7 persen menjadi Rp 394,18 triliun per akhir kuartal I 2019 dibanding periode akhir 2018 sebesar Rp 387,44 triliun. Direktur Pengadaan Strategis 2 Djoko Abumanan yang kala itu menjabat Plt Dirut PLN mengklaim, jumlah utang PLN masih dalam batas aman.
Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menambahkan beban PLN untuk menjalankan program pemerintah cukup berat. Tuntutan akan produktivitas yang selangit dan harga listrik murah di tengah naiknya nilai tukar dolar atas rupiah serta lau pertumbuhan ekonomi yang tak sesuai ekspektasi cukup membuat PLN kesulitan dalam mengatur arus kas.
“Karena banyaknya penugasan di BUMN-BUMN yang membuat kas BUMN itu sebenernya menciut,” kata Bhima kepada kumparan, Jumat (2/8). Beban keuangan itu, menurut Bhima, membuat PLN menjadi salah satu yang paling agresif dalam menerbitkan surat utang.
“Dengan kondisi tertekan gitu, PLN mau gak mau harus cari utangan. Data dari S&P Global, lembaga kredit rating internasional, itu menunjukkan PLN tahun 2025 onwards termasuk BUMN yang jatuh tempo utangnya lumayan besar,” imbuh Bhima.
Tak cuma perkara arus kas, PLN pun kerap dihajar persoalan di pucuk pimpinan. Semenjak eks Dirut PLN Sofyan Basir dijadikan tersangka oleh KPK atas kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 pada 23 April 2019, sudah tiga kali perusahaan ini berganti pimpinan.
Pertama, Direktur Human Capital Management PLN Muhammad Ali yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas direktur utama selama 30 hari. Jabatan sementara direktur utama kemudian dialihkan kepada Djoko Abumanan yang juga merangkap sebagai Direktur Pengadaan Strategis II PLN berdasar hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Kementerian BUMN. Hanya berselang tiga bulan, Djoko digantikan oleh Sripeni Inten Cahyani yang ditunjuk Kemen BUMN pada awal Agustus lalu. Sripeni juga merangkap jabatan sebagai Direktur Pengadaan Strategis I PLN.
Sementara direktur utama definitif untuk PLN belum juga ditetapkan sebab masih dikaji. Dalam hal ini, pemerintah diwakili Kementerian BUMN mesti hati-hati dalam menunjuk pucuk pimpinan PLN. Selain Sofyan Basir, sudah tiga mantan direktur utama PLN lain yang juga terjerat kasus korupsi.
Direktur Utama PLN 2001-2008 Eddie Widiono dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena dianggap bersalah dalam kasus korupsi proyek outsourcing Costumer Information System–Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya). Kerugian negara akibat kasus itu mencapai Rp 46,1 miliar.
Disusul kemudian Dahlan Iskan yang sempat terjerat kasus korupsi 21 gardu induk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara saat menjabat Dirut PLN 2009-2011. Dalam kasus itu diduga negara dirugikan hingga Rp 33,218 miliar. Namun ia lepas dari tuduhan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilannya.
Nur Pamudji, yang menggantikan Dahlan Iskan sebagai Dirut PLN pada 2011-2014 pun bernasib tak jauh beda. Setahun setelah lengser, Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI menetapkan Nur Pamudji, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan bahan bakar minyak (BBM) high speed diesel (HSD). Namun kelanjutan kasusnya hingga kini tak begitu jelas.
“Pergantian direksi BUMN yang terlalu sering juga mengganggu kinerja,” ucap Bhima. Sebab, terlalu banyak waktu dihabiskan untuk adaptasi direksi baru sehingga bisa berdampak pada pencapaian target di bawah standar.
Kini, di tengah persoalan arus kas, beban utang, dan masa adaptasi direksi baru, PLN kudu membayar kompensasi atas blackout di Banten, DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Barat yang terjadi selama lebih dari 6 jam.
“Ketika padam kemarin, ganti rugi dibebankan kepada karyawan, tunjangan kinerjanya dipotong. Berarti PLN secara korporasi tidak mampu menangani ganti rugi yang nilainya ada yang Rp 800 miliar - Rp1 triliun,” ujar Bhima.
Rapor merah perusahaan BUMN bukan hanya dimiliki oleh PLN. Perusahaan pelat merah lain seperti Pertamina, Garuda Indonesia, dan Krakatau Steel bahkan menghadapi keadaan yang hampir tak jauh berbeda.
Pertamina, misalnya, tengah terancam rugi besar akibat kebocoran sumur minyak YYA-1 milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) Karawang, Jawa Barat. Dampaknya, tumpahan minyak mencemari darat dan laut mulai dari perairan Karawang hingga Kepulauan Seribu. Sehingga menyebabkan 1.636,25 hektare tambak udang, bandeng, rumput laut, dan garam terancam gagal panen, 127 petambak berpotensi kehilangan sumber pendapatan, 281 nelayan tak dapat melaut dan berkurang hasil tangkapan.
Padahal pembukaan kembali (re-entry) sumur minyak YYA-A itu diharapkan bisa mendongkrak produksi Pertamina sehingga bisa mengurangi impor minyak dan kembali jadi perusahaan yang bisa diandalkan untuk meraih untung besar.
“Biaya yang mereka harus tanggulangi besar sekali. Baik dari kehilangan potensi pendapatan (dari kebocoran sumur minyak) maupun kerugian yang harus mereka tanggung karena mereka juga harus membayar kerusakan ekonomi maupun kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” ucap Toto.
Sementara Garuda Indonesia menjadi sorotan lantaran laporan keuangan yang janggal. Sebelumnya, laporan keuangan perusahaan tahun 2018 mencatat laba bersih sebesar USD 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar. Padahal di tahun sebelumnya maskapai pelat merah ini mengalami kerugian sampai Rp 2,88 triliun
Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 24 April 2019, dua dari lima komisaris PT Garuda Indonesia menolak laporan keuangan tersebut karena tak sesuai dengan kaidah standar akuntansi keuangan. Pendapatan atas transaksi Perjanjian Kerja Sama penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citililnk Indonesia senilai USD 239 juta diakui perusahaan masuk ke dalam pendapatan.
Perkara ini lantas disorot oleh PT Bursa Efek Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Kementerian Keuangan. BEI dan OJK menjatuhkan denda kepada Garuda Indonesia, masing-masing sebesar Rp 250 dan Rp 100 juta karena telah melanggar aturan tata cara penyajian kinerja keuangan perusahaan.
Teguran dan sanksi yang diterima Garuda Indonesia membuat mereka mengoreksi laporan keuangannya. Berdasarkan informasi dari Bursa Efek Indonesia, pada Jumat (26/7), laporan terbaru Garuda mencatat rugi USD 175 juta atau setara Rp 2,432 triliun. Sedangkan pendapatan perusahaan tersebut hanya USD 38,9 juta atau Rp 540,710 miliar.
Bhima melihat kasus pemalsuan laporan keuangan Garuda Indonesia adalah contoh penggunaan BUMN sebagai alat pencitraan Jokowi dalam menghadapi Pilpres 2019. Sebab rival Jokowi saat itu, Prabowo Subianto, menggunakan BUMN sebagai peluru. Prabowo kerap mengatakan kondisi BUMN sedang tidak sehat.
Maka, kata Bhima, dilakukanlah sulap-menyulap laporan keuangan. “Yang penting pada saat pemilu bilang bahwa Garuda untung kan sekarang. Dan kalau untung, dia akan membagikan dividen yang banyak ke negara. Kan negara di-PHP (beri harapan palsu) sekarang. Tadinya sudah berharap dapat dividen dari Garuda, sekarang nggak. Jadi, ada fraud,” jelas Bhima kepada kumparan.
Terkait sejumlah persoalan tersebut, sejumlah pejabat Kementerian BUMN yang dihubungi kumparan tidak merespons karena tengah berada di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji bersama Menteri Rini.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI pada 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa ada 21 BUMN yang merugi dan tidak bisa menyetor dividen kepada negara. “Mereka masih menghadapi masalah keuangan,” ujar Sri saat itu.
Persoalan keuangan sejumlah BUMN itu, menurut Sri, karena dua faktor. Pertama, karena kalah saing dan efisiensi anggaran atau merugi karena sedang dalam proses restrukturisasi.
Seperti halnya yang tengah dihadapi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Perusahaan baja nasional ini akan melakukan PHK massal terhadap para pekerjanya. Namun, Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim meluruskan bahwa perusahaan melakukan restrukturisasi organisasi untuk menyelamatkan kondisi keuangan perusahaan.
Selain dalam proses restrukturisasi, PT Krakatau Steel juga—seperti halnya PLN—terjerat kasus korupsi. Direktur Teknologi dan Produksi Krakatau Steel Wisnu Kuncoro tertangkap tangan menerima suap senilai Rp 26 miliar untuk pengadaan barang perusahaan. Kasus Wisnu membuat publik miris karena Krakatau Steel tengah menghadapi kerugian beruntun.
Laporan keuangan terakhir pada tahun 2018 menunjukkan Krakatau Steel rugi Rp 1,08 triliun. Banting tulang merespons krisis, perusahaan ini melakukan penjualan aset non-core, perampingan organisasi, mencari mitra bisnis strategis, spin-off, dan pelepasan unit kerja yang semula bersifat cost center yang selama ini hanya melayani induk perusahaan. Perampingan jabatan akan mengurangi pegawai sebanyak 1.300 orang dari 4.352 posisi. Proses ini akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2020.
Namun, efisiensi tersebut diprediksi tak bakal jadi obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan kerugian BUMN. Ketua KPK Agus Rahardjo menilai budaya korup masih menjalar di tubuh BUMN, misalnya, Satuan Pengawasan Internal (SPI) di dalam BUMN justru orang yang sesuai dengan kompetisinya. “Dalam tanda kutip orang buangan ditaruh di pengawas internal, kemudian tidak dilengkapi (kapasitas), kalau di daerah-daerah dengan resources yang memadai,” ucap Agus.
Komisi VI DPR RI sebagai mitra Kementerian BUMN mengaku proses pengawasan terhadap perusahaan pelat merah seperti macan ompong. Anggota Komisi VI DPR RI Inas Nasrullah menuturkan jika Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan petinggi BUMN hanya seperti rutinitas dan lewat layaknya angin lalu.
“Ada kesimpulan DPR mendesak ini, meminta ini, mendesak ini. Itu aja. Tapi kalau tidak dikerjakan apa sanksinya buat kementerian atau buat direktur dirut-dirut ke BUMN? Nggak ada sanksinya kalau tidak dikerjakan,” kata Inas kepada kumparan, Minggu (11/8).
Bahkan, Inas menyinggung komisinya sudah lama tak bisa menemui Menteri BUMN Rini Soemarno. Undangan sejak awal 2017 tak kunjung berbalas dan tak ada upaya dari pimpinan DPR untuk memaksanya hadir. Padahal, penjelasan Rini sebagai pemegang kunci bisnis BUMN amat vital.
Mirisnya kondisi BUMN membuat kinerja Rini menjadi sorotan. “Di dalam BUMN itu ada saham rakyat Indonesia. Dan pengawasannya diwakilkan kepada Kementerian BUMN. Tapi si pengawas ini tidak perform. Yang salah siapa? Dalam struktur dan kacamata konstitusi, itu tanggung jawab menteri. Menteri BUMN-nya ke mana?” pungkas Bhima.