Jeritan Kelas Menengah: Terhimpit Rencana Iuran Tapera hingga Asuransi Kendaraan

28 Juli 2024 10:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4) Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4) Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kahfi, 28 tahun, merasa masygul dengan berbagai rencana pemerintah akan menambah berbagai beban iuran bagi pekerja. Pria yang menjadi pekerja swasta di Jakarta ini sudah overthinking dengan adanya aturan iuran wajib asuransi kendaraan yang rencananya bakal diterapkan tahun depan. Juga Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera pada 2027.
ADVERTISEMENT
Yang bikin Kahfi makin pusing, aturan-aturan iuran wajib itu sudah dikunci dalam Undang-Undang. Soal asuransi kendaraan aturannya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Program itu kini tinggal menunggu beleid turunan berupa Peraturan Pemerintah dan direncanakan diterapkan di tahun depan.
UU Tapera yang ditetapkan pada 2016 lain lagi. Beleid turunannya malah sudah terbit, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2020 tentang Tapera. Toh meski sudah banyak diprotes masyarakat, pekerja, dan pengusaha, aturan ini sudah ditetapkan akan berlaku mulai 2027.
Ilustrasi BP TAPERA Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Bukan tanpa alasan Kahfi keberatan. Sebab selama ini dia sudah dibebankan iuran wajib seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, hingga Pajak Penghasilan (PPh). Dia tentu harus putar otak karena jika iuran tambahan itu jadi diterapkan, penghasilannya makin menipis. Padahal naik gaji belum tentu dia dapat setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
“Sekarang apa-apa dipotong. Gaji enggak penuh, banyak potongan. Potongan secara umum pajak, BPJS, itu juga sudah lumayan (potongan nominalnya). Kalau sudah dipotong kemudian ternyata harga bahan makanan naik. Kalau misalkan diakumulasi berat lah,” kata Kahfi kepada kumparan.
Bukan hanya Kahfi, pekerja lainnya, Zura (22 tahun), mengkritik keras rencana potongan-potongan gaji tersebut. Sebab, selama ini gaji yang dia terima selain dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, juga harus dia sisihkan untuk membantu orang tuanya.
“Kalau tiba-tiba ada potongan baru (Tapera dan asuransi wajib kendaraan) jadi bingung nabung. Harus nyisihin dari mana lagi?” katanya.
Kahfi dan Zura adalah potret kehidupan kelas menengah: Gaji tak bersisa. Ya bagaimana tidak. Gajinya habis untuk biayai kebutuhan hidup di Jakarta dan membantu orang tua. Ditambah iuran wajib pekerja. Jika rencana beban iuran wajib asuransi kendaraan dan Tapera jadi dilakukan, semakin terhimpit lagi posisi mereka.
Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan tidak ada yang salah dengan keluhan kelas menengah soal makin beratnya beban mereka. Belum diterapkannya pungutan baru itu, kata dia, kelas menengah dari waktu ke waktu memang sudah melemah daya belinya.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya, bukannya ekonomi akan tumbuh meningkat, justru beban-beban baru yang datang saat ekonomi hanya tumbuh moderat saat ini akan semakin menggerus potensi untuk akselerasi,” ujar Ekp.
Jika beban bertambah, Eko memperkirakan kelas menengah akan memprioritaskan makan dan kebutuhan primer. Akibatnya dunia usaha di sektor sekunder dan tersier perlu bersiap penurunan demand karena healing dan traveling bukan lagi jadi pilihan kelas menengah.
“Sektor keuangan juga perlu bersiap likuiditas murah dari sisi tabungan masyarakat (DPK) mengetat karena tabungan menipis untuk memenuhi kebutuhan primer mereka cekak,” katanya.
Soal kondisi kelas menengah juga disorot Mantan Menteri Keuangan dan Ekonom Senior Chatib Basri. Dia menilai tak mudah menjadi kelas menengah di Indonesia. Menurutny, berdasarkan data dalam enam bulan terakhir terlihat daya beli kelompok menengah bawah tergerus.
ADVERTISEMENT
Menurut Chatib berdasarkan Mandiri Spending Index (MSI), porsi pengeluaran untuk groceroes (bahan makanan) meningkat dari 13,9 persen menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran. Angka itu menunjukkan semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam pengeluarannya. Begitu pun sebaliknya.
Chatib Basri Foto: bekraf.go.id
Chatib menjelaskan jika pendapatan seseorang turun, maka dia akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya seperti makanan. Namun jika pendapatan menurun sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluaran akan meningkat.
“Itu sebabnya kenaikan porsi makanan dalam total belanja mencerminkan menurunnya daya beli,” kata Chatib.
Berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) BPS periode Maret 2023 disebutkan masyarakat kelompok kecil hingga menengah (kuintil I-III) di Indonesia menghabiskan gajinya hanya untuk membeli makan.
ADVERTISEMENT
Pengeluaran pangan untuk kuintil I sebesar 62,37 persen, kuintil II 59,98 persen, kuintil III 57,56 persen. Kemudian pengeluaran pangan di kuintil tercatat sebesar IV 54,13 persen, dan kuintil V hanya 39,42 persen.
Sementara itu, BPS mencatat per Agustus 2023 rata-rata gaji bersih karyawan dalam sebulan hanya senilai Rp 3.178.227. Upah tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta yakni Rp 5.532.624, sementara upah terendah di Jawa Tengah Rp 2.321.344.
Bank Dunia dalam laporan bertajuk Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class yang terbit tahun 2020, menyebut ada sekitar 52 juta masyarakat Indonesia yang masuk kategori menengah. Kemudian, ada juga 115 juta orang yang berhasil keluar dari garis kemiskinan, namun belum mencapai tingkat ekonomi yang aman (calon kelas menengah/aspiring middle class/AMC). Kelompok ini sangat rentan kembali lagi menjadi miskin.
ADVERTISEMENT
Menurut Chatib, jumlah kelas menengah di Indonesia memang sudah menurun sejak 2019. Ini berdasarkan data Bank Dunia. Pada 2018, 23 persen dari total penduduk RI masuk kelompok menengah. Kemudian turun menjadi 21 persen di 2019 sejalan dengan kenaikan AMC dari 47 persen menjadi 48 persen.
Pada tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17 persen, AMC naik menjadi 49 persen dan kelompok rentan naik menjadi 23 persen. “Ini artinya sejak 2019 sebagian dari kelas menengah turun kelas menjadi AMC. Kemudian AMC turun menjadi kelompok rentan,” tutur Chatib.