Jika Semua UMKM Tunda Bayar Cicilan, Bank Terancam Rugi

30 Maret 2020 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Deputi Senior Gubernur BI, Mirza Adityaswara. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Deputi Senior Gubernur BI, Mirza Adityaswara. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah memberikan relaksasi bagi debitur atau UMKM untuk bisa menunda pembayaran cicilan kredit selama satu tahun. Namun, UMKM yang mendapat relaksasi ini dipastikan hanya yang terdampak virus corona, bukan semua pelaku usaha kecil dan menengah.
ADVERTISEMENT
Aturan relaksasi penundaan cicilan itu tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical.
Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan, Mirza Adityaswara, mengatakan yang mendapatkan relaksasi penundaan pembayaran cicilan kredit tersebut dipastikan hanya debitur yang terdampak corona. Jika tidak, bank akan mengalami kerugian sangat besar.
Saat ini, kredit UMKM memiliki andil 15-20 persen dari total kredit perbankan. Sementara sisanya didominasi oleh kredit konsumsi, seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan mobil (KPM), sebesar 30 persen.
"Debitur yang mampu bayar, harus tetap bayar utangnya. Karena jika tidak, sektor keuangan akan mengalami kerugian yang sangat besar, sehingga malahan stop memberikan kredit," ujar Mirza kepada kumparan, Senin (30/3).
ADVERTISEMENT
Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) itu melanjutkan, bank memiliki aset kredit dan juga kewajiban membayar tabungan masyarakat. Begitu juga dengan lembaga pembiayaan, yang memiliki kewajiban membayar ke bank dan ke pemegang surat utang, seperti obligasi atau medium term note (MTN).
"Maka dari itu, sesuai dengan POJK 11/2020, debitur yang bisa diberikan restrukturisasi kredit harus selektif, yaitu hanya yang kemampuan ekonominya terdampak oleh krisis COVID-19. Bank dan lembaga pembiayaan lah yang akan melakukan seleksi tersebut," katanya.
Senada dengan Mirza, mantan Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, jangan sampai ada debitur yang salah mengartikan relaksasi tersebut. Sebab bank juga memiliki kewajiban membayar bunga ke masyarakat.
"Jangan ditangkap debitur bahwa mereka diperkenankan tidak membayar kewajibannya (cicilan), karena jelas sekali bahwa sumber dana bank adalah dana masyarakat yang berupa giro, tabungan, dan deposito yang harus dibayar bunganya ke masyarakat," kata Agus.
Mantan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kebijakan relaksasi penundaan pembayaran cicilan kredit juga harus melihat masing-masing profil risiko debitur oleh bank. Dengan begitu, kata Agus, debitur tak serta-merta dapat menangguhkan cicilannya.
ADVERTISEMENT
"Untuk bank, tentu harus melihat kondisi nasabah UMKM untuk tujuan dunia usaha, kalau seandainya perlu dilakukan restrukturisasi, rekondisi, atau reschedule," jelasnya.
Sementara itu, Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menegaskan, skema dan relaksasi penerapan penundaan pembayaran cicilan kredit bagi debitur itu tergantung masing-masing bank, sesuai dengan penilaian profil dan kapasitas membayar debitur itu sendiri.
Termasuk soal pembayaran bunga kredit, hal ini pun diserahkan ke masing-masing perbankan. Bisa saja pembayaran bunga kreditnya ditunda, dikurangi, atau tetap dibayarkan.
"Jadi relaksasi ini bukan untuk semua debitur, untuk yang benar-benar terdampak COVID-19. Jangan debitur yang mampu membayar, jadi tidak mau bayar utang, ataupun debitur yang sudah macet sebelum COVID-19, kemudian semakin menghindari kewajibannya," kata Sekar.
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Indef, Aviliani, menuturkan debitur yang mampu jangan sampai memanfaatkan situasi ini untuk menunda kewajibannya.
"Ini kan tidak berlaku pada semua, karena kalau yang berpenghasilan tetap itu kan tidak ada masalah, kecuali dia kena PHK. Pasti kan dia yang kena PHK akan mengalami penurunan pendapatan, nah itu mungkin bisa ajukan restrukturisasi," kata Aviliani.
Meski demikian, dia tetap mengkhawatirkan hal tersebut terhadap kesehatan perbankan. Sebab dalam POJK 11/2020 itu juga dijelaskan, hanya debitur dengan pinjaman di bawah Rp 10 miliar.
Sementara sektor-sektor yang terdampak corona saat ini sebagian besar pinjamannya juga di bawah Rp 10 miliar.
"Kan sebagian besar pinjaman mereka itu di bawah Rp 10 miliar, pasti akan terjadi masalah mismatch atau cashflow buat banknya sendiri," katanya.
Pengamat ekonomi, Aviliani. Foto: Joseph Pradipta/kumparan
Dia melanjutkan, jika relaksasi kredit itu diberlakukan semua debitur, maka akan menyebabkan risiko kredit macet atau non performing loan (NPL) melonjak dari saat ini.
ADVERTISEMENT
Hingga akhir Februari 2020, NPL perbankan mencapai 2,97 persen (gross) dan 1,00 persen (net).
"Ini NPL sudah segini, kalau diterapkan ke semua debitur, itu bisa naik luar biasa NPL-nya. Makanya yang harus OJK pikirkan itu adalah indikator kesehatan bank sama good corporate governance, karena indikatornya akan turun semua," tambahnya.
Sebelumnya OJK menyampaikan, ada empat syarat utama bagi debitur yang bisa mendapatkan relaksasi penundaan pembayaran cicilan kredit.
Pertama, yakni bagi debitur yang terkena dampak COVID-19 dengan nilai kredit/leasing di bawah Rp 10 miliar, untuk antara lain pekerja informal, berpenghasilan harian, usaha mikro dan usaha kecil (Kredit UMKM dan KUR).
Kedua, keringanan dapat diberikan dalam periode waktu maksimum 1 tahun dalam bentuk penyesuaian pembayaran cicilan pokok/bunga, perpanjangan waktu atau hal lain yang ditetapkan oleh bank/leasing.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mengajukan kepada bank/leasing dengan menyampaikan permohonan melalui saluran komunikasi bank/leasing.
Keempat, jika dilakukan secara kolektif misalkan melalui perusahaan, maka direksi wajib memvalidasi data yang diberikan kepada bank/leasing.