Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Meski mayoritas bisnis terpuruk ketika COVID-19 merebak, bisnis sektor kesehatan seperti PCR dan produksi masker justru mendapat demand yang tinggi. Lantas dengan membaiknya beralihnya status pandemi ke endemi, bagaimana prospek bisnis kesehatan di Indonesia?
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO ) Shinta Kamdani menilai prospek bisnis di bidang kesehatan masih tetap bagus. Hal itu didasari oleh kebiasaan masyarakat yang sudah terbentuk selama pandemi COVID-19.
"Dengan perubahan dari pandemi ke endemi sektor kesehatan tetap akan tumbuh karena masyarakat sudah beradaptasi untuk hidup dengan kebiasaan baru termasuk menjaga imunitas, memakai hand sanitizer, masker dan lain-lain," kata Shinta kepada kumparan, Jumat (30/12).
Sementara untuk bisnis di sektor riil, Shinta menilai kebijakan PPKM yang mempengaruhi mobilitas masyarakat memiliki korelasi langsung terhadap bisnis informal dan UMKM. Untuk itu dia menyambut baik dicabutnya PPKM ini.
ADVERTISEMENT
"Jadi ini akan membantu, apalagi di tahun depan di mana terdapat proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi global," pungkas Shinta.
Dihubungi terpisah, Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menyadari bisnis PCR merupakan salah satu bisnis musiman yang dalam periode 3 tahun terakhir selama pandemi ini mengalami peningkatan pesat akibat dari tingginya demand masyarakat.
"Namun setelah pandemi berlangsung selama hampir 3 tahun kita melihat banyak kemudian dari bisnis ini yang tidak seramai dulu lagi karena permintaan terhadap jasa dari bisnis ini mulai berkurang, di saat yang bersamaan ketentuan pemerintah dalam penggunaan tes dari bisnis ini juga tidak seketat dua tahun silam," kata Yusuf.
Dengan dicabutnya PPKM , Yusuf melihat akan ada sektor bisnis yang mulai menggeliat seperti bisnis pariwisata. Dia memproyeksikan bisnis ini akan melanjutkan ekspansinya, berbeda dengan bisnis sektor kesehatan seperti PCR yang menurutnya akan terus terkontraksi.
ADVERTISEMENT
"Sehingga secara singkat menurut saya tentu akan ada bisnis yang surut dari kebijakan PPKM ini termasuk di dalamnya bisnis PCR, namun di sisi lain ada juga bisnis yang diuntungkan dengan kebijakan penghapusan PPKM ini," pungkas dia.
Bisnis PCR Redup
Redupnya bisnis PCR sudah diprediksi oleh Dr. dr. Andani, Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan Staf Ahli Menteri Kesehatan.
Dalam liputan khusus kumparan, Andani menyebut bisnis PCR akan redup begitu COVID-19 selesai. Bahkan saat ada pelonggaran aktivitas masyarakat (PPKM) oleh Jokowi beberapa waktu lalu, sekaligus menghapus kewajiban PCR di bandara, bikin kasus tes COVID-19 menurun drastis.
Bumame Farmasi, lab layanan tes COVID-19, turut mencatat penurunan layanan tes PCR dan antigen usai kelonggaran yang diterapkan pemerintah sejak beberapa bulan lalu.
ADVERTISEMENT
“Yang sangat terasa adalah (jumlah) masyarakat yang mengambil layanan antigen. Turun di hampir seluruh cabang kami, terutama di Jabodetabek,” kata Public Relations Bumame Farmasi, Afifah Nurdin, tanpa merinci angka persisnya.
Bumame adalah salah satu contoh dari booming-nya bisnis tes COVID. Berdiri dengan satu lab di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, pada Agustus 2020—lima bulan setelah kasus pertama COVID-19 muncul di Indonesia, Bumame terus berkembang hingga kini memiliki 56 cabang di seluruh Indonesia.
Meski terjadi penurunan tes COVID-19, Bumame Farmasi menyebut perubahan itu belum signifikan. Cabang-cabang Bumame di luar Jabodetabek masih terus didatangi masyarakat yang hendak tes PCR maupun antigen.
“Demand-nya masih terus ada karena masyarakat sebenarnya sudah mulai sadar bahwa kesehatan adalah hal yang penting. Mereka skrining mandiri walau tidak lagi diwajibkan pemerintah,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, kesadaran tersebut amat bagus agar Indonesia bisa segera keluar dari pandemi menuju endemi.
“Kami tak khawatir (bisnis redup). Tujuan kami untuk memberikan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat. Kami terus berinovasi. Kembali ke keadaan normal adalah hal baik untuk kita semua," kata Afifah.
Hasil perhitungan peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, bersama timnya menunjukkan bahwa setidaknya keuntungan penyedia jasa PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun.
Nilai yang fantastis itu membuat banyak platform digital bermitra dengan lab-lab lokal, lab besar, sampai rumah sakit, untuk menyediakan jasa tes PCR dan antigen.
“Rumusnya sederhana: total pemeriksaan spesimen per hari dikali biaya tes PCR sesuai regulasi,” kata Wana kepada kumparan, Selasa (15/3).
ADVERTISEMENT