Jokowi dan Strategi Roosevelt Atasi Resesi: Pangkas Birokrasi, Buat Lembaga Baru

20 Juli 2020 7:20 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi. Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi. Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Rencana Jokowi membentuk Gugus Tugas Pemulihan Ekonomi untuk mengangkat kelesuan ekonomi akibat pandemi—dan dengan begitu menghindari resesi di depan mata—bukannya tak bisa dimengerti.
Sebagian kalangan mungkin bertanya-tanya: untuk apa lagi bikin gugus tugas baru? Dulu Gugus Tugas Penanganan COVID-19, nanti Gugus Tugas Pemulihan Ekonomi. Kenapa tidak lewat kementerian-kementerian saja?
Jawabannya bisa macam-macam, salah satunya: supaya bisa kerja fokus, tidak terganggu oleh urusan-urusan rutin lain yang tak dapat ditinggal di kementerian masing-masing.
Jawaban lain: supaya bisa bergerak leluasa antarsektor, tak terkungkung pada wilayah yang menjadi tanggung jawab kementeriannya saja.
Jawaban lain lagi: supaya bisa bergerak cepat, tak terhambat birokrasi kementerian yang kadang tak terelakkan.
Begini misalnya kata Jokowi usai membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19: “Gugus tugas ini bekerja efektif dengan menyinergikan kekuatan nasional—di pusat dan daerah—serta melibatkan ASN, TNI, Polri, pihak swasta, lembaga sosial, dan perguruan tinggi.”
Pernyataan senada tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 yang menyebut Gugus Tugas Penanganan COVID-19 bertujuan antara lain untuk “mempercepat penanganan virus corona melalui sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah.”
Kalimat-kalimat itu menegaskan perkara penting yang diperlukan Jokowi dari gugus tugas tersebut: kerja efektif dengan jangkauan luas.
Itu sebabnya Jokowi menyebut gugus tugas itu: tim reaksi cepat.
Kini, kalau bisa, sepertinya Jokowi ingin menerapkan hal serupa untuk Gugus Tugas Pemulihan Ekonomi yang akan ia bentuk—atau gugus tugas-gugus tugas apa pun yang ia rancang.
Franklin Delano Roosevelt, Presiden AS di masa Depresi Besar. Foto: AFP
Cara serbacepat yang dikehendaki Jokowi sudah diterapkan 87 tahun lalu oleh presiden lain bernama Franklin Delano Roosevelt. Ia Presiden AS ke-32 yang berkuasa pada 1933 sampai 1945—ya, empat periode berturut-turut, menjadikannya presiden yang paling lama memerintah di Amerika Serikat.
Bila Jokowi menginginkan cara-cara kilat—atau efisien—untuk menghindari resesi, Roosevelt menggunakannya untuk mengeluarkan Amerika dari resesi panjang yang dikenal dengan sebutan Depresi Besar (The Great Depression) atau zaman malaise.
Depresi Besar adalah masa kemerosotan ekonomi yang terjadi secara dramatis di seluruh dunia selama satu dekade penuh, dari 1929 sampai 1939. Ini adalah resesi paling panjang, paling parah, dan paling luas di abad ke-20.
The Great Depression bermula di Amerika Serikat pada Oktober 1929 ketika bursa saham anjlok. Akibatnya, Wall Street dilanda panik dan para investor menjual saham-saham mereka. Alhasil, harga saham semakin rontok dan jutaan investor kehilangan dana dalam sekejap.
Depresi Besar menghancurkan negara-negara di dunia tanpa pandang bulu, baik kaya maupun miskin. Pendapatan pribadi, penghasilan pajak, laba, dan harga-harga turun. Perdagangan internasional pun terpuruk lebih dari 50 persen.
Di AS, sistem perbankan lumpuh dan angka pengangguran naik 25 persen. Artinya, lebih dari 12 juta warga AS kehilangan pekerjaan. Dan pada salah satu masa terburuk dalam sejarah inilah Roosevelt menapak tangga menuju kursi kepresidenan. Mandatnya sebagai presiden sangat jelas: selamatkan Amerika Serikat.
Sejarawan meringkas fokus New Deal sebagai 3R, yakni relief (bantuan), recovery (pemulihan), dan reform (reformasi). Maksudnya: bantuan untuk pengangguran dan kaum miskin, pemulihan ekonomi ke level normal, dan reformasi sistem keuangan untuk mencegah depresi berulang.
Yang kemudian menarik bukan hanya program-program New Deal, tapi cara Roosevelt menyusun, meloloskan, dan mengimplementasikan agenda-agenda—kontroversial—tersebut.
Antrean di luar Lembaga Penyelamat Kota New York di masa Depresi Besar tahun 1929. Foto: Getty Images
Roosevelt—yang bukan liberal garis keras maupun konservatif—menggunakan pendekatan pragmatis semasa memerintah. Dia mengatakan akan mencoba sesuatu yang baru untuk mengakhiri depresi. Jika itu berhasil, maka ia akan beralih pada masalah berikutnya untuk dipecahkan. Tapi jika gagal, ia akan mengevaluasinya dan mencoba solusi baru lain.
Roosevelt juga memperkuat lembaga kepresidenan, khususnya unit-unit administrasi dan birokrasi terkait kebijakan pemerintah. Instansi-instansi yang bergerak terlalu lambat baginya akan ia lompati, dan ia akan membentuk lembaga-lembaga darurat baru sebagai gantinya.
Untuk membantunya, Roosevelt punya banyak penasihat—yang terbanyak dalam sejarah kepresidenan AS hingga saat itu. Dan dengan kumpulan penasihat itulah Roosevelt membentuk lingkaran stafnya di Gedung Putih.
“Roosevelt menghindari bentuk organisasi yang hierarkis, dan alih-alih memberi satu instruksi jelas untuk masing-masing penasihatnya, ia malah menyebar tugas kepada mereka, kadang membebani beberapa di antara mereka dengan tugas sejenis,” tulis William E. Leuchtenburg, Profesor Emeritus Sejarah Universitas Carolina Utara-Chapell Hill, dalam Franklin D. Roosevelt: Domestic Affairs yang dimuat di Miller Center.
Sistem ini membuat Roosevelt menerima saran mengenai suatu kebijakan dari sejumlah penasihat dengan kecenderungan ideologi berbeda. Ia jadi punya beberapa pilihan dan dapat menerapkan fleksibilitas dalam proses pembuatan keputusan.
Meski demikian, ada kelemahan utama dari sistem tersebut: New Deal kerap bergerak ke beberapa arah bertentangan.
Depresi Besar merambat ke seluruh dunia. Foto: Central Press/Getty Images
Program tahap pertama New Deal ialah menstabilkan sistem keuangan AS, menyediakan bantuan dan pekerjaan untuk masyarakat terdampak depresi, serta membangkitkan ekonomi kapitalis Amerika.
Untuk poin ketiga itu, Roosevelt membangun kemitraan dengan pebisnis untuk menghidupkan kegiatan produksi dan menggairahkan dunia industri. Ia juga melibatkan peran besar pemerintah federal (di Indonesia, kita menyebutnya pemerintah daerah).
Kerja sama antara pemerintah dan pengusaha untuk mengangkat kelesuan ekonomi memang tak terelakkan. Pemerintah Indonesia saat ini, misalnya, menekankan perlunya peran sektor keuangan, perbankan, dunia usaha, sampai pemerintah daerah, sebagai katalis bagi keberhasilan program pemerintah pusat dalam mendorong konsumsi masyarakat.
“Kami tempatkan dana pemerintah di perbankan dan kami luncurkan kredit penjaminan sehingga antara bank dan korporasi serta dunia usaha, terutama UMKM (usaha mikro kecil menengah), bisa pulih,” kata Menteri Keuangan RI Sri Mulyani.
Pemerintah RI pun akan menguncurkan pinjaman Rp 15 triliun untuk pemerintah daerah. “Mereka (pemda yang pendapatannya turun) bisa pinjam dengan suku bunga sangat murah untuk memulihkan ekonomi di daerah masing-masing,” ujar Menkeu.
Roosevelt di kamp Korps Konservasi Sipil. Foto: MPI/Getty Images
Kembali ke Amerika masa Depresi Besar, Roosevelt ketika itu mendirikan lembaga-lembaga baru untuk menyokong agenda-agenda New Deal.
Untuk mengatasi kelaparan dan pengangguran, ia mendirikan Administrasi Bantuan Darurat Federal (FERA) yang menyediakan alokasi uang tunai langsung ke negara-negara bagian bagi para penganggur (di Indonesia semacam bantuan langsung tunai).
Ada pula Korps Konservasi Sipil (CCC) yang mempekerjakan 300.000 pemuda di 1.200 kamp penanaman pohon, pembangunan jembatan, sampai pembersihan pantai.
Selain itu, ada Administrasi Pekerjaan Sipil (CWA) yang menghabiskan dana US$ 1 miliar untuk proyek-proyek pekerjaan umum seperti pembangunan bandara dan jalan raya. Namun, lembaga ini hanya bertahan empat bulan. Roosevelt membubarkannya karena berbiaya mahal.
Namun, satu lembaga lagi menghabiskan anggaran jauh lebih mahal. Administrasi Pekerjaan Umum (PWA) yang memiliki dana US$ 3 miliar menggarap konstruksi umum berskala besar seperti Jembatan Golden Gate di San Fransisco.
Lewat proyek-proyek akbar tersebut, PWA bukan cuma menciptakan lapangan pekerjaan, tapi menggerakkan roda perindustrian dengan memesan material yang dibutuhkan untuk konstruksi.
Lembaga baru yang tak kalah penting dalam program New Deal adalah Administrasi Pemulihan Nasional (NRA) yang menawarkan kemitraan antara pemerintah dan pebisnis. Melalui NRA, pengusaha dapat menyusun regulasi persaingan dagang untuk mengatur harga dan upah.
Regulasi tersebut melarang penjualan di bawah harga standar untuk mencegah kompetisi tak sehat antar-pengusaha. NRA menjadi cerminan keyakinan Roosevelt bahwa sektor bisnis—dengan sedikit dorongan pemerintah—dapat mengatur dirinya sendiri.
Keyakinan itu terbukti naif, sebab pengusaha mau menaati regulasi—pun yang dibuat kalangan mereka sendiri—jika merasa itu sesuai dengan kepentingannya, namun mengabaikannya jika kurang cocok dengan tujuan mereka.
Pengusaha kecil juga mengeluhkan ulah pengusaha-pengusaha besar yang mendominasi penyusunan regulasi dan menyalahgunakan wewenang dengan berupaya mendepak pesaing mereka.
Pada akhir 1933, kata Leuchtenburg, terlihat jelas bahwa NRA gagal. Pada 1937, Amerika Serikat masih berkubang dalam resesi panjangnya. Pada 1939, barulah Depresi Besar berakhir—lebih karena Perang Dunia II.
Pekerja AS memasang sayap tengah untuk pesawat pengebom B-24E Liberator saat Perang Dunia II. Foto: HO/The National Archives/AFP
Adalah ironi bahwa perang menciptakan lapangan pekerjaan dan memicu pengeluaran besar-besaran—baik oleh masyarakat maupun pengusaha—hingga akhirnya mengangkat AS dari kelesuan ekonomi.