Jokowi hingga Sri Mulyani Dikritik soal Transisi Energi: Jangan Dianggap Mahal

21 Desember 2021 13:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani mendampingi Presiden Jokowi. Foto: Instagram/@smindrawati
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani mendampingi Presiden Jokowi. Foto: Instagram/@smindrawati
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa pemerintah masih gamang dalam melakukan transisi energi. Salah satunya dari sisi pembiayaan pengembangan sektor energi baru terbarukan (EBT), pemerintah masih terlihat keberatan.
ADVERTISEMENT
"Pernyataan presiden bahwa transisi energi tanpa membebani APBN dan tanpa menimbulkan peningkatan tarif listrik didasarkan kepada pemahaman bahwa energi terbarukan itu mahal," ujar Fabby dalam acara Indonesia Energy Transition Outlook 2022, Selasa (21/12).
Selain itu, dia juga menyoroti pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengungkapkan biaya transisi energi dari fosil ke EBT sangat mahal, sehingga seakan-akan transisi energi ini menimbulkan beban fiskal bagi Indonesia. Adapun menurut Menkeu, butuh biaya Rp 426 triliun untuk Pensiunkan PLTU 5.500 MW.
"Dan menyiratkan pesan bahwa kita akan melakukan transisi energi jika ada bantuan asing saja. Biaya transisi energi seharusnya tidak dipandang sebagai beban, tapi menurut kami seharusnya dipandang sebagai kesempatan investasi baru," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Fabby melanjutkan, agenda transisi energi di berbagai sektor, baik itu kelistrikan, transportasi, dan industri membuka kesempatan beralihnya investasi yang sebelumnya ditujukan kepada energi fosil yang polutif menjadi energi rendah karbon bahkan nirkarbon.
"Perlu ada perubahan cara pandang dari pemerintah untuk melihat tantangan investasi ini sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan perubahan fundamental ekonomi Indonesia menuju low carbon economy system," imbuh dia.
Petugas membersihkan panel surya yang berada di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Irigasi Tanjung Raja, Muara Enim, Sumatera Selatan, Kamis (18/11/2021). Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
Dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 yang diluncurkan IESR hari ini, Selasa (21/12), IESR menilai dekarbonisasi sektor energi membutuhkan biaya sekitar USD 20-25 miliar per tahun.
Sedangkan, nilai investasi kepada sektor EBT saat ini selalu di bawah USD 2 miliar dan masih jauh lebih rendah dari investasi pembangkit energi fosil. Sehingga, masih ada celah sebanyak 10 kali lipat untuk mencapai nilai investasi ideal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kajian tersebut IESR menyoroti ada sejumlah peluang pendanaan tersedia dari entitas swasta atau publik untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang dapat digunakan untuk membiayai transisi energi.
Warga melintas menggunakan kendaraan roda dua di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Jeneponto di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Peluang pendanaan ini termasuk insentif pemerintah (fiskal dan non-fiskal), bantuan pembiayaan internasional, dan mekanisme pembiayaan yang lebih tidak konvensional seperti green bond/sukuk, obligasi daerah, keuangan syariah, dan blended finance.
"Pemerintah perlu menciptakan iklim investasi energi bersih yang lebih kondusif untuk mendorong investasi dari swasta bumn dan masyarakat pada sektor EBT, salah satunya dengan instrumen derisking, low cost financing, dan investasi pada peta sumber daya energi terbarukan yang terinci di seluruh Indonesia," tandasnya.