Jokowi Ingin Turunkan Harga Gas Industri, Tapi Impor Bukan Solusinya

7 Januari 2020 12:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Proyek pembangunan terminal LNG di Teluk Lamong, Jawa Timur. Foto: Dok. PGN
zoom-in-whitePerbesar
Proyek pembangunan terminal LNG di Teluk Lamong, Jawa Timur. Foto: Dok. PGN
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti mahalnya gas bumi untuk industri di dalam negeri. Ia memberi tenggat waktu kepada para menteri terkait agar mampu menekan harga gas dalam 3 bulan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, ada tujuh sektor industri yang diupayakan mendapatkan harga gas sebesar USD 6 per Million Metric British Thermal Unit (MMbtu).
Ketujuh sektor industri tersebut yaitu industri pupuk, industri petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan industri sarung tangan karet. Kenyataannya, harga gas di industri saat ini masih di atas USD 6 MMBTU.
Ada 3 opsi yang diusulkan untuk menurunkan harga gas. Pertama, memberi kesempatan pada swasta untuk impor gas. Kedua, pengurangan bahkan penghapusan Penerima Negara Bukan Pajak (PNPB) dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Ketiga, penetapan harga khusus untuk gas Domestic Market Obligation (DMO).
Di antara ketiga opsi ini, impor gas dinilai sebagai pilihan yang tak masuk akal. Sebab, gas impor tidak akan lebih murah dibanding pasokan dari dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Sebab, gas bumi yang diimpor pasti bentuknya gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Dengan harga minyak dunia yang saat ini di atas USD 60 per barel, harga LNG dari negara asalnya sudah di atas USD 5 per MMbtu. Lalu dikirim dengan kapal ke Indonesia. Semakin jauh lokasi kilang LNG, tentu biaya pengapalan semakin mahal.
Ketika sampai, LNG harus melalui proses regasifikasi, bentuknya dikembalikan menjadi gas. Kemudian dialirkan melalui pipa, sehingga ada tarif distribusi. Jadi, harganya tak mungkin di bawah USD 6 per MMbtu seperti diatur dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2016.
"Enggak mungkin USD 6 per MMbtu. Di sananya (negara asalnya) sudah sekitar USD 4-5 per MMbtu. Harus dijadikan LNG, lalu diregasifikasi, butuh transportasi lagi sampai ke industri penggunanya. Opsi impor ini agak berat, saya kira lebih baik opsi yang lain," tegas Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, kepada kumparan, Selasa (7/1).
ADVERTISEMENT
Selain itu, pembukaan keran impor gas akan semakin menekan neraca perdagangan. "Padahal selama ini sektor migas adalah penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan," ucapnya.
Kapal tengker LNG Foto: REUTERS/Issei Kato
Mamit menilai, mengurangi PNBP merupakan opsi terbaik jika pemerintah serius ingin menurunkan harga gas bumi.
"Anggap saja itu subsidi untuk industri. Kurangi saja (PNBP) USD 1 per MMbtu, kemudian kurangi lagi (PNBP) USD 1 per MMbtu untuk membangun infrastruktur gas. Jadi pembangunan infrastruktur gas seperti pipa itu negara yang membiayai, seperti di Malaysia," papar Mamit.
Menetapkan gas DMO dengan harga khusus juga dapat dilakukan. Tapi ada dampak negatifnya, hal ini akan mengurangi keekonomian untuk investor dan dapat menimbulkan ketidakpastian. Maka harga gas DMO harus betul-betul diperhitungkan supaya tak merugikan investor.
ADVERTISEMENT
"DMO jangan terlalu murah, harus diperhitungkan dengan baik. Jangan sampai mengganggu iklim investasi di hulu migas," tutupnya.