Jokowi Kembali Pilih Menteri ATR dari Latar Belakang Militer, Kenapa?

24 Februari 2024 17:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono saat pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/2/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono saat pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/2/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi telah menunjuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR/BPN), menggantikan Hadi Tjahjanto yang digeser mejadi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
ADVERTISEMENT
Dua nama ini memiliki latar belakang militer. Pangkat AHY terakhir di TNI adalah sebagai Mayor. Putra sulung Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono ini kemudian mundur dari TNI AD dan fokus berkarier di politik sejak 2016 silam.
Sementara, Hadi Tjahjanto sempat menjadi Panglima TNI sebelum ditunjuk menjadi Menteri ATR/BPN pada Juni 2022 menggantikan Sofyan Djalil.
Administrasi Sertifikat Tanah
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna punya penilaian mengapa Jokowi memilih sosok berlatar belakang TNI untuk mengurus pertanahan di Indonesia.
"Ini ada PR khusus. Ini artinya dengan background militer apakah bisa menertibkan, khususnya pada mekanisme persoalan-persoalan administrasi pertanahan," kata Yayat kepada kumparan, ditulis Sabtu (24/2).
Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyerahkan sertifikat tanah dan meninjau pelayanan pertanahan di Kota Manado, Kamis (22/2/2024). Foto: Kementerian ATR/BPN
Yayat menilai, saat ini pemerintah sudah memiliki aplikasi untuk pengurusan administrasi sertifikat tanah. Namun yang menghambat adalah mental-mental birokrasi ASN yang bekerja di sana. Dengan penunjukan menteri berlatar belakang TNI, dia harap masalah itu selesai.
ADVERTISEMENT
"Kedisiplinan kalau TNI itu harus tepat waktu, harus tepat pelayanannya kepada masyarakat. Sekian jam sekian jam, perbaiki, jadi sistem disiplin itu antara disiplin alat sistem pelayanan dengan mental birokrasinya harus menyambung. Kalau enggak repot," kata Yayat.
Sampai akhir 2023, pemerintah di periode Presiden Jokowi telah menerbitkan 101 juta sertifikat tanah, dari target 126 juta sertifikat tanah. Jokowi sempat bilang, harusnya 2023 target itu sudah rampung tapi terhambat karena pandemi COVID-19.
Meski begitu, Jokowi mengeklaim administrasi sertifikat tanah di awal periodenya 2015 dibanding sekarang sudah sangat signifikan. Pada kunjungan kerjanya ke Cilacap awal Januari lalu, dia bilang, mulanya penerbitan sertifikat tanah bisa dilakukan hanya 500 ribu per tahun, sekarang bisa 10 juta per tahun.
ADVERTISEMENT
Untuk AHY sendiri, sehari setelah dilantik Jokowi dirinya langsung turun ke lapangan membagikan 105 sertifikat tanah di Manado Sulawesi Utara, Kamis (22/2).
"Saya menyerahkan sertifikat tanah langsung kepada masyarakat. Di sini saya sambil terus belanja masalah, apa lagi yang kira-kira bisa kita lakukan dari pusat dan tentunya turunannya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota," kata AHY.
Konflik Agraria
Kekhawatiran publik melihat persoalan pertanahan dengan aparat TNI adalah soal konflik agraria. Apalagi, konflik agraria yang terjadi di era Jokowi tidak sedikit.
Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2022 mencapai 4.107 kasus. Luas area konfliknya mencapai 11,8 juta hektare.
Sepanjang 2010-2014, jumlah kasus konflik agraria di era SBY mencapai 1.308 kasus dengan luas area mencapai 5,7 juta hektare. Sementara itu, konflik agraria di era Jokowi pada 2015-2019 mencapai 2.050 kasus dengan luas area mencapai 3,7 juta hektare.
ADVERTISEMENT
Artinya, jumlah kasus konflik agraria di era Jokowi nyaris dua kali lipat lebih banyak daripada di era SBY. Soal data tersebut, Yayat menilai ada faktor keterbukaan informasi.
"Dengan semakin terbukanya media sosial dengan TikTok, Instagram jadi diviralkan. Jadi zaman SBY beda dengan zaman Pak Jokowi. Zaman Pak Jokowi peran dari media sosial sangat besar sekali sehingga punya implikasi besar terhadap masalah potensi konflik yang selama ini tidak (terbuka)," kata Yayat.
KPA sendiri memperoleh data konflik agraria dari sejumlah sumber. Mulai dari korban yang melaporkannya KPA, pengumpulan dari berbagai daerah, investigasi di lapangan, serta pemantauan dari media.
Pada saat penunjukan Hadi Tjahjanto jadi Menteri ATR/BPN 2022 lalu, KPA juga sempat mengeluarkan pernyataan, bahwa penunjukan Hadi berpotensi mengakibatkan konflik agraria.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan, dari 532 Lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) yang telah diusulkan KPA kepada pemerintah, 14 di antaranya merupakan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan klaim TNI.
Beberapa contohnya meliputi konflik agraria di Urut Sewu, Kebumen, Marafenfen, Maluku, dan konflik TNI dengan masyarakat Bara-baraya, Makassar.
Namun, Yayat menilai penunjukan Menteri ATR/BPN dengan latar belakang TNI itu bukan sebuah hal yang bertentangan dengan upaya pemerintah meredam konflik agraria tidak pecah.
"Tidak kontradiktif. Artinya justru bagaimana AHY dengan waktu yang tersisa mampu memberikan warna baru. Artinya dengan sisa waktu yang ada, dia bisa memberikan catatan-catatan apa yang bisa dia tambahkan dari apa yang sudah dihasilkan sekarang," kata Yayat.
Meski begitu, dia menyadari semestinya tugas utama TNI adalah untuk pertahanan, bukan terlibat dalam konflik pertanahan.
ADVERTISEMENT
"Itu harus kita cermati, perlu kehati-hatian di situ. Di situ AHY mungkin bisa mengingatkan semua aparat TNI yang terlibat dalam kasus-kasus tanah harus ditarik mundur. Bahwa ranah TNI bukan di situ, tugas TNI adalah pertahanan dan keamanan. Kalau konflik pertanahan bukan di situ tempatnya," pungkas Yayat.