Jokowi vs Faisal Basri soal Keuntungan Hilirisasi Nikel

12 Agustus 2023 8:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
Faisal Basri dan Jokowi. Foto: Antara dan Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Faisal Basri dan Jokowi. Foto: Antara dan Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Adu argumen antara Presiden Jokowi dengan Ekonom senior INDEF, Faisal Basri, terjadi terkait dengan keuntungan hilirisasi nikel. Menurut Faisal, program kebanggaan Jokowi tersebut hanya menguntungkan China,
ADVERTISEMENT
Awalnya, Faisal Basri mengatakan pemerintah seharusnya menjalankan strategi industrialisasi, bukan sekadar melakukan kebijakan hilirisasi. Dia menyebut hilirisasi nikel yang dilakukan di Indonesia hanya mengubah bijih nikel menjadi Nickel Pig Iron (NPI) atau feronikel di mana 99 persennya diekspor ke China.
"Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China," tegas Faisal.
Faisal menilai produk turunan nikel masih bisa diolah lebih mutakhir lagi, karena saat ini Indonesia hanya merasakan 10 persen dari nilai tambah. "Sungguh hilirisasi itu kita tidak dapat banyak, maksimal 10 persen. 90 persennya lari ke China," jelasnya.

Tanggapan Jokowi soal Keuntungan Hilirisasi Nikel

Presiden Joko Widodo berjalan dari Stasiun MRT ASEAN menuju Gedung Sekretariat ASEAN untuk menghadiri peringatan HUT ke-56 ASEAN di Jakarta, Selasa (8/8/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Jokowi mengungkapkan hilirisasi justru memberi keuntungan berupa penerimaan negara yang tinggi. Menurutnya, realisasi nilai tambah hilirisasi nikel menjadi Rp 510 triliun dari pajak ekspor bahan mentah yang mencapai Rp 17 triliun per tahun
ADVERTISEMENT
Dengan adanya hilirisasi ini, Jokowi menyebut negara tidak hanya meraup pendapatan dari pajak, tetapi juga mendapat penerimaan dari PPN, PPh Badan, PPh Karyawan, royalti, dan bea keluar.
“Bayangkan saja, negara itu hanya mengambil pajak. Mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama ambil pajak dari Rp 500 triliun gedean mana?,” ungkap Jokowi saat mencoba LRT Jabodebek bersama para artis, Kamis (10/8).
“Karena dari situ dari hilirisasi kita bisa mendapatkan PPN, PPh Badan, PPh Karyawan, PPh Perusahaan, royalti, bea ekspor, penerimaan negara bukan pajak semuanya ada di situ. coba dihitung aja dari Rp 17 triliun sama yang Rp 500 triliun gedean mana?” tambahnya.

Faisal Basri Kembali Sangkal Jokowi

Kemudian, Faisal Basri kembali membantah data yang diucapkan Jokowi. Lewat blog pribadinya, Faisal mengatakan, angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.
ADVERTISEMENT
“Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China,” tulisnya seperti dikutip, Jumat (11/8).
Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp 1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai USD 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp 11,865 per dolar AS.
“Lalu, dari mana angka Rp 510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD 27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun,” ungkapnya.
Faisal Basri. Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungannya, kata Faisal, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat.
ADVERTISEMENT
“Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri,” ungkap Faisal.
Menurutnya, perusahan-perusahaan smelter China menikmati 'karpet merah' karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Menurutnya, Kementerian Keuangan yang mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada Kementerian Investasi/BKPM.
Apalagi perusahaan smelter China tidak membayar royalti. Sebab yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional.
“Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen. Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan,” tutur Faisal.
ADVERTISEMENT