Jumlah PLTN Makin Berkurang dan Mahal, RI Yakin Mau Bikin Pembangkit Nuklir?

11 Maret 2022 16:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
Unit pembangkit listrik di pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia di kota Enerhodar, di selatan Ukraina, ditampilkan pada 12 Juni 2008. Foto: Olexander Prokopenko/AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Unit pembangkit listrik di pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia di kota Enerhodar, di selatan Ukraina, ditampilkan pada 12 Juni 2008. Foto: Olexander Prokopenko/AP Photo
ADVERTISEMENT
Sebagai bentuk akselerasi transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060, Indonesia disebut-sebut akan mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai salah satu sumber energi baru dan terbarukan (EBT).
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. Dia mengatakan, pemerintah telah mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang rencananya akan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 Giga Watt (GW) sampai dengan tahun 2060.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim, mengungkapkan jumlah PLTN dan porsi bauran energi nuklir di seluruh dunia semakin turun dari tahun ke tahun. Tercatat, per 2019 kapasitas energi PLTN dunia hanya sebesar 392 GW.
"Angka ini 4 GW lebih rendah dari tahun 2018 di seluruh dunia, dan 40 GW lebih rendah dari tahun 2011. Sebenernya di dunia sudah terjadi penurunan kapasitas dan produksi PLTN," kata Herman saat webinar IESR, Jumat (11/3).
Herman pun mengutip kajian International Energy Agency (IEA), bahwa saat ini pembangunan PLTN mengalami cost overrun karena ada delay pembangunan selama 117 bulan, yang tadinya 6 tahun menjadi 10 tahun konstruksi. Peningkatan investasi pun terjadi karena bunga yang terus membengkak.
Ilustrasi Nuklir. Foto: Shutter Stock
Namun, lanjut dia, saat ini sudah tidak ada investasi untuk time extension pembangunan PLTN di negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), salah satunya Jepang. Sehingga, pernyataan bahwa nuklir merupakan energi termurah tidak lagi relevan saat ini.
ADVERTISEMENT
"Tidak adanya investasi baru, OECD perkirakan jumlah nuklir di negara OECD akan turun termasuk di Jepang, dari 280 GW di 2018 menjadi 90 GW di 2040, penurunannya hampir 200 GW," paparnya.
Dalam kesempatan sama, akademisi Universitas Nagasaki Jepang, Tatsujiro Suzuki, mengatakan pemerintah Jepang melakukan perubahan kebijakan energi besar-besaran pasca kecelakaan PLTN Fukushima yang terjadi 11 tahun silam.
Tatsujiro menjelaskan, Jepang memiliki 54 unit PLTN sebelum terjadi kecelakaan Fukushima. Namun saat ini hanya tersisa 10 unit karena pemerintah Jepang mempensiunkan banyak PLTN dalam kurun waktu 2013-2014.
"Porsi energi nuklir berkurang dari 25,9 menjadi hanya 3,9 persen dan ada peningkatan porsi batu bara, gas alam, dan energi baru dan terbarukan. Ini trennya akan tetap berlanjut hingga beberapa tahun," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kendati semua PLTN di Jepang sempat dipensiunkan, namun pemerintah Jepang kembali menggunakan energi nuklir namun hanya 10 unit yang dioperasikan. Pemerintah Jepang juga berencana meningkatkan porsi nuklir menjadi 20 persen di 2030, namun Tatsujiro berkata itu tidak mungkin karena saat ini porsinya hanya 4 persen.
Seorang warga Jepang berdoa untuk istrinya yang menjadi korban insiden gempa bumi dan tsunami 2011, di sebuah pemakaman di Namie, prefektur Fukushima, Jepang pada Jumat (11/3/2022). Foto: STR/JIJI PRESS/AFP
Selain itu, pasca kecelakaan PLTN Fukushima pada tahun 2011 lalu karena bencana gempa bumi berskala 9,0 SR dan tsunami yang melanda Jepang, pemerintah Jepang mengalami pertambahan biaya pengembangan PLTN karena ada tambahan investasi keselamatan.
"Biaya nuklir terbaru oleh pemerintah, pertama kali diestimasikan nuklir bukan energi termurah karena dari 1970 selalu mengatakan nuklir termurah. Namun sekarang 11,7 yen per kwh, karena kecelakaan ada investasi keselamatan tambahan yang selalu meningkat, saat ini tercatat 1,3 yen per kwh," ungkap Tatsujiro.
ADVERTISEMENT
Dia melanjutkan, karena ada kecelakaan PLTN Fukushima, pemerintah Jepang harus membayar tambahan meningkat 2 yen dari sebelumnya hanya 9 per kwh menjadi 11,7 kwh. "Gas alam, matahari, dan angin lebih murah dari nuklir dan ini yang mengubah kebijakan energi di Jepang," imbuhnya.
Sementara untuk biaya kecelakaan PLTN Fukushima yang harus dibayar pemerintah, kata Tatsujiro, estimasi awal sebesar USD 74,3 miliar. Namun saat ini, diperkirakan melonjak menjadi USD 223,1 miliar bahkan bisa lebih besar lagi menjadi USD 332-719 miliar.
"Nuklir adalah obat dengan efek samping yang kuat, jangan diambil ketika tidak butuh. Kalau mau pun harus siap dengan efek samping dan harus selalu sehat sehingga tidak harus meminum obat yang kuat ini," tandasnya.
ADVERTISEMENT
******
Kuis kumparanBISNIS hadir lagi untuk bagi-bagi saldo digital senilai total Rp 1,5 juta. Kali ini ada kuis tebak wajah, caranya gampang! Ikuti petunjuknya di LINK INI. Penyelenggaraan kuis ini waktunya terbatas, ayo segera bergabung!