Kaleidoskop 2024: Utang Pemerintah Melonjak, Tembus Rp 8.680 Triliun

26 Desember 2024 18:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tahun 2024 menjadi salah satu periode krusial bagi pengelolaan keuangan negara. Posisi utang pemerintah terus meningkat hampir sepanjang tahun, menembus angka tertinggi sebesar Rp 8.680,13 triliun pada akhir November.
ADVERTISEMENT
Awal Tahun yang Stabil
Pada Januari 2024, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 8.253,09 triliun, dengan mayoritas berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 7.278,03 triliun atau 88,19 persen dari total utang. Komposisi lainnya adalah pinjaman sebesar Rp 975,06 triliun, yang sebagian besar berasal dari pinjaman luar negeri.
Kenaikan Bertahap hingga Tengah Tahun
Posisi utang mengalami peningkatan bertahap selama semester pertama 2024. Utang pemerintah sampai 29 Februari 2024 mencapai Rp 8.319,22 triliun. Jumlah itu naik Rp 66,13 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya.
Pada Maret 2024, utang pemerintah turun tipis menjadi Rp 8.262,10 triliun. Kemudian naik lagi pada April 2024 mencapai Rp 8.338,43 triliun.
Posisi utang pemerintah naik lagi mencapai Rp 8.353,02 triliun hingga akhir Mei 2024. Dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 38,64 persen.
ADVERTISEMENT
Pada Juni, utang pemerintah mencapai Rp 8.444,87 triliun, naik Rp 91,85 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Instrumen SBN tetap menjadi komponen utama, mencapai Rp 7.418,76 triliun atau 87,85 persen dari total utang.
Fluktuasi pada Semester Kedua
Pergerakan utang pemerintah menunjukkan dinamika yang menarik pada semester kedua. Pada Juli, utang melonjak menjadi Rp 8.502,69 triliun, sebelum turun sedikit pada Agustus menjadi Rp 8.461,93 triliun. Penurunan tersebut terjadi akibat pengurangan penerbitan SBN valuta asing, meskipun posisi pinjaman luar negeri masih cukup besar.
Namun, pada September dan Oktober, utang kembali naik, masing-masing sebesar Rp 8.473,90 triliun dan Rp 8.560,36 triliun. Pada periode ini, penerbitan SBN domestik mencatatkan peningkatan signifikan, sementara pinjaman luar negeri terus mendominasi kontribusi dari kategori pinjaman.
ADVERTISEMENT
Rekor Tertinggi pada November
Posisi utang pemerintah mencapai puncak pada November 2024 yakni mencapai Rp 8.680,13 triliun. Dengan rasio utang pemerintah sebesar 39,20 persen terhadap PDB.
Mayoritas utang berasal dari SBN yang mencapai Rp 7.648,87 triliun atau 88,12 persen dari total utang. SBN domestik tercatat sebesar Rp 6.167,37 triliun, sementara SBN valuta asing mencapai Rp 1.475,50 triliun.
Pinjaman luar negeri juga terus meningkat hingga menyentuh Rp 988,38 triliun, dengan rincian pinjaman bilateral sebesar Rp 263,33 triliun, multilateral Rp 571,7 triliun, dan commercial banks Rp 132,61 triliun.
Peningkatan utang pemerintah tahun ini tidak lepas dari kebutuhan pembiayaan defisit APBN dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Meski demikian, rasio utang terhadap PDB terpantau masih terkendali di kisaran 38-39 persen.
ADVERTISEMENT
Ekonomi Sebut Utang Sebagai Beban Ekonomi
Seorang pegawai bank menyiapkan uang layak edar di loket layanan penukaran uang terpadu di Lapangan Taruna Remaja, Kota Gorontalo, Senin (25/3/2024). Foto: ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Meskipun pemerintah berargumen bahwa utang diperlukan untuk mendanai belanja prioritas dan mendukung pemulihan ekonomi, sejumlah ekonom melihat bahwa kenaikan utang ini telah menimbulkan beban ekonomi yang berat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan lonjakan utang pemerintah tidak lagi berfungsi sebagai leverage atau pengungkit ekonomi. Melainkan telah menjadi beban fiskal.
"Beban utang yang melonjak signifikan terbukti tidak mampu mendorong ekonomi Indonesia tumbuh di atas 7 persen seperti janji Jokowi," kata Bhima.
Ia juga memperingatkan bahwa beban bunga utang yang tinggi akan mempersempit ruang fiskal pemerintah, mengurangi kemampuan untuk mendanai sektor-sektor produktif, dan berpotensi membuat Indonesia terjebak dalam middle income trap. Bhima menyoroti efek crowding out yang terjadi akibat besarnya penerbitan SBN.
ADVERTISEMENT
"Dana publik tersedot untuk membeli surat utang pemerintah, termasuk dari deposan perbankan. Suku bunga simpanan bank kalah saing dengan suku bunga SBN," jelasnya.
Akibatnya, penyaluran likuiditas ke sektor produktif menurun, yang berdampak pada pertumbuhan kredit yang stagnan.
Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan kenaikan utang tersebut tak wajar. Menurutnya, pengelolaan utang merupakan salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi.
“Kenaikan ini tentu saja tidak wajar, kendatipun kita memasukkan faktor COVID-19, karena kenaikan sudah mulai terjadi sebelum COVID-19 dan terus berlanjut pasca Covid berlalu. Kita sudah memasuki era debt trap,” kata Wija.
“Saya rasa, kehati-hatian dalam mengelola utang, adalah salah satu titik lemah Pemerintahan pak Jokowi,” imbuhnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menekankan bahwa meski rasio utang terhadap PDB Indonesia masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan Undang-Undang, beban bunga utang yang meningkat menjadi perhatian utama.
ADVERTISEMENT
"Imbal hasil yang tinggi dari SBN menyebabkan belanja bunga utang meningkat signifikan, yang pada akhirnya membatasi ruang fiskal untuk belanja produktif," jelasnya.
Yusuf juga mencatat bahwa pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar produktivitas dari utang yang telah dilakukan bisa meningkat.
Pengelolaan utang pemerintah ke depan masih akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan selanjutnya. Meskipun konsolidasi fiskal telah dilakukan sejak 2022, dengan menurunnya defisit APBN dan rasio utang terhadap PDB, risiko pembiayaan dan beban bunga tetap menjadi perhatian utama.