Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Kampus Berpotensi Jadi Broker jika Diberi Izin Kelola Tambang
28 Januari 2025 14:50 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Wacana pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang kepada kampus dinilai menyimpang dari tujuan perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, rencana tersebut melenceng dari Tridharma perguruan tinggi: Pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.
Sejak berdiri, core business kampus bukan mengelola tambang, karena sama sekali berbeda dengan tujuan utama kampus.
"Perguruan tinggi tidak semua punya jurusan pertambangan, hanya 30 termasuk di dalamnya sekolah tinggi. Sementara PTN (perguruan tinggi negeri) hanya 8 yang punya jurusan teknik pertambangan," ujar Bhima kepada kumparan, Selasa (28/1).
Menurutnya, wacana kampus mengelola tambang sama saja seperti kebijakan membungkam suara akademik termasuk dosen dan mahasiswa dalam mengkritisi tata kelola tambang. Saat terjadi konflik dengan masyarakat sekitar, kampus akan menjadi 'petugas' keamanan yang siap membela eksistensi tambang.
ADVERTISEMENT
"Kampus perlu biaya modal yang sangat besar bahkan untuk skala kecil dengan luas 500 hektare kebutuhan biaya upfront minimal Rp 500 miliar yang meliputi biaya uji kelayakan, biaya eksplorasi, biaya mine development, biaya transportasi, reklamasi lahan pascatambang, pajak dan royalti, sampai biaya CSR," jelas ia.
Bhima khawatir, banyak kampus nantinya malah menjadi broker tambang, sebab secara finansial tidak mampu.
Berdasarkan studi yang dijalankan Celios dan Greenpeace, penelitian menunjukkan desa dengan lokasi yang ada di area tambang dan berdekatan dengan tambang memiliki akses pendidikan yang rendah, akses kesehatan lebih jauh, konflik masyarakat yang lebih tinggi dibanding desa non-tambang.
"Sudah jelas bahwa biaya eksternalitas negatif tambang menyebabkan kerusakan lingkungan, kualitas SDM lokal, hingga kerugian kesehatan dalam jumlah cukup besar," kata Bhima.
ADVERTISEMENT
Studi lain dari Celios dan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) di tahun 2024, menunjukkan risiko kematian dini dari tambang dan smelter nikel menembus 3.800 orang per tahunnya.
"Dengan kerugian biaya kesehatan Rp 40 triliun pada 2025. Ini bentuk antisains yang paling terang benderang dan akademisi kampus dalangnya," tuturnya.
Di sisi lain, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengungkap lebih baik tambang dikelola pelaku usaha alias tak perlu ada pelibatan kampus terkait pengembangan bisnisnya.
"Praktiknya menurut saya biar pelaku usaha aja gitu, kalo kampus itu kan digunakan sekadar laboratorium saja, belum tentu kampus juga paham untuk mengelola tambang," ucap Esther ketika dihubungi kumparan, Selasa (28/1).
ADVERTISEMENT
Kampus dirasa kurang pas untuk mengelola tambang, sebab inti perguruan tinggi ialah riset dan development.
"Kalau kampus kan mereka nggak ngerti mereka harus ngapain, aneh banget tapi, kampus itu kalau di negara lain ya riset bukan mengelola tambang, corenya riset dan development, ya jangan dicampur-campur ini," imbuhnya.
Jika wacana ini berubah menjadi kebijakan yang diteken pemerintah, Esther memberi saran untuk kampus berkolaborasi dengan lintas kepentingan seperti pemerintah, pelaku usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
"Pemerintah itu pembuat regulasi, sisi kampus itu risetnya, pelaku usahanya dari sisi peran bisnis agar profitnya, masyarakat dapat CSR dari pengelolaan tambang itu, LSM itu watchdog dan capacity building buat masyarakat. Peran itu saja, jadi kolaborasi, jangan ditekankan ke kampus aja," tukas Esther.
ADVERTISEMENT
Wacana kampus mendapatkan konsesi pengelolaan tambang masih harus diajukan dulu kepada Presiden Prabowo Subianto. Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur, mengungkapkan setelah disetujui Prabowo, nantinya akan ada Surat Presiden terkait usulan yang tertuang dalam RUU Minerba tersebut.
“Presiden nanti kalau sudah setuju nanti akan keluar Supres, Surat Presiden baru nanti kita akan melakukan melakukan rapat antara pemerintah dengan DPR,” ungkap Julian di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (23/1).
Jika nantinya RUU Minerba ini sudah diusulkan ke Prabowo, selanjutnya kementerian terkait akan mengkaji RUU tersebut.
Dalam RUU Minerba terdapat beberapa poin seperti percepatan hilirisasi di sektor minerba, pengelolaan tambang yang akan diprioritaskan untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, keterlibatan perguruan tinggi untuk mengelola tambang, serta pemberian prioritas kepada UMKM.
ADVERTISEMENT