Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ekonom Universitas Padjadjaran yang juga merupakan anggota Dewan Ekonomi Nasional, Arief Anshory Yusuf, menilai untuk mencapai kemandirian ekonomi, perguruan tinggi tidak harus mengelola tambang.
“Karena banyak ketertinggalan capaian perguruan tinggi dalam core business-nya, itu membuat sumber daya sebaiknya fokus ke core business saja. Dan pemberian konsesi tambang itu tidak konsisten dengan semangat reformasi perguruan tinggi yang sedang dicanangkan oleh pemerintah,” kata Arief dalam gelaran kuliah Menimbang Kebijakan Konsesi Tambang Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum secara virtual, Kamis (30/1).
Arief menilai perguruan tinggi dalam hal ini seperti dipaksa untuk komersial. Sementara perguruan tinggi bukan lembaga komersial. Sebaliknya, perguruan tinggi mempunyai fungsi publik, yaitu penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dia menilai seharusnya perguruan tinggi dibiayai oleh publik funding atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
ADVERTISEMENT
“Saya merekomendasikan, pemerintah melalui presiden itu sebaiknya tidak menerima revisi Undang-Undang Minerba yang ada perguruan tinggi di Konstitusi tambang itu,” jelas Arief.
“Kita perguruan tinggi dengan tegas jangan menerima wacana itu. Karena dari berbagai aspek yang jelas itu nggak rasional,” tambahnya.
Selain Arief, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, juga menyerukan hal yang sama. Dia menilai usulan keterlibatan kampus dalam bisnis tambang harus ditolak.
“Perguruan tinggi harus menolak, atau kita serukan bahwa pembahasan perubahan tadi dihentikan, kalau kemudian tidak berhasil tetap melaju, maka kita serukan pada semua perguruan tinggi yang mengedepankan nurani, agar menolak,” kata Fahmy dalam kesempatan yang sama.
Dia menilai ada Tri Dharma perguruan tinggi yang harus dipatuhi. Jika dilibatkan dalam bisnis tambang, maka hal ini harus direvisi.
ADVERTISEMENT
“Pendidikan, penelitian, pengabdian, dan tambah satu penambangan. Supaya tidak melanggar undang-undang,” ujar Fahmy.
Dia melihat jika dipaksa menambang, perguruan tinggi akan kesulitan mendapatkan pasar untuk menjual hasil tambang. Hal ini disamping lamanya waktu perguruan tinggi sampai di tahap pemasaran hasil tambang.
“Perguruan tinggi juga tidak punya akses untuk pasar ekspor, sehingga tidak mudah untuk bisa mengekspor hasilnya,” jelas Fahmy.
Sementara, pilihan memasarkan dalam negeri ke PLN (Persero) akan membuat keuntungan yang diraup relatif kecil. Sebab, ada aturan Domestic Market Obligation (DMO).
“Kalau negara akan membantu menyediakan dana untuk perguruan tinggi, di samping memperbesar APBN untuk sektor pendidikan, maka sesungguhnya bisa juga negara itu memberikan Profitability Index, itu tanpa modal, tanpa resiko,” ujar Fahmy.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah juga bisa merombak aturan mengenai royalti tambang. Dia menyoroti aturan royalti batu bara yang diterima negara sebesar 11 persen. Sehingga meskipun harga batu bara dunia tengah naik, penghasilan negara tetap sama.
“Barangkali itu yang perlu diubah, royaltinya harus dinaikkan, kemudian juga pajaknya harus pajak progresif, ada pajak windfall, saat pengusaha dapat windfall, dia harus biarkan pajak juga pada negara,” tutur Fahmy.
Dengan perombakan kebijakan ini, pemerintah bisa mendapat tambahan anggaran untuk pembiayaan perguruan tinggi. Kemudian, dia juga mengusulkan daripada ikut menambang, kampus lebih baik melakukan penelitian dan pengembangan di sektor pertambangan atau hasil tambang. Misalnya bagaimana mengubah batu bara dari energi kotor menjadi energi bersih.
“Ini saya kira akan lebih baik para ahli tambang yang ada di perguruan tinggi daripada jadi tukang tambang,” ungkap Fahmy.
ADVERTISEMENT