Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kapsurula, Limbah Kilang ‘Naik Kelas’ Jadi Pelampung Rumput Laut di Tihi-Tihi
17 November 2023 10:43 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kampung yang berada di tengah laut tersebut bisa diakses menggunakan speedboat sekitar 20 menit dari Bontang. Sekitar 5 menit pakai speed boat dari kampung, terhampar ‘ladang’ rumput laut di bawah air. Rumput laut ini mengapung terlilit pada tali. Pelampungnya adalah kapsul dengan bahan dari limbah kilang.
Sewaktu kumparan tiba siang itu, kapsul-kapsul tak terlalu terlihat di siang hari. Kapsul tersebut berbahan fiber berisikan polyurethane yang mirip dengan styrofoam ringan. Setiap kapsul diikat satu-satu dengan jarak antar kapsul sekitar 2-3 meter.
Bahan itu merupakan daur ulang limbah pabrik pengolahan gas alam cair (LNG). Polyurethane sebagai limbah non B3 awalnya hanya dibuang begitu saja di TPA. Limbah tersebut berasal dari salah satu bahan pembungkus pipa yang menjaga LNG tetap dingin.
ADVERTISEMENT
Petani rumput laut di Kampung Tihi-Tihi membuat inovasi Kapsurula atau Kapsul Pelampung Rumput Laut Ramah Lingkungan di bawah program MENARA MARINA (Menuju Nelayan Ramah Lingkungan Mandiri dan Sejahtera) yang diinisiasi salah satu anak perusahaan Subholding Upstream Pertamina Hulu Energi, PT Badak LNG .
Mulai Gantikan Pelampung Botol Plastik
Nah, bahan polyurethane yang digunakan untuk kapsul berasal dari limbah perusahaan yang tak lagi terpakai. Sebelumnya mereka pakai botol-botol plastik bekas yang harus sering diganti.
“Kami gunakan botol plastik bisa mencapai 500 hingga 1.000 botol. Akan diganti setiap 3-6 bulan. Kalau rusak, dalam 1 bulan pun perlu diganti,” kata Muslimin, Ketua RT 17 Kampung Tihi-Tihi.
Petani rumput laut, Irwan, bercerita satu botol plastik kemasan 1,5 liter harganya Rp 200. Nah, untuk mengisi sekitar 35 hektar rumput laut, memerlukan puluhan ribu botol plastik pelampung.
ADVERTISEMENT
Sejak awal 2023, Kapsurula sudah terpasang sebanyak 1.000 buah pada 2 hektar rumput laut.
“Botol (plastik) itu enggak tahan lama. Kapsurula tahan lama mencapai 40 tahun,” kata Irwan, Senin (13/11).
Kapsurula sendiri memiliki keunggulan yakni tahan sampai 40 tahun. Harga satu kapsulnya memang lebih mahal, yakni Rp 25 ribu, sudah termasuk dari biaya material hingga. Namun, dengan harga ini, warga tak perlu mengganti kapsul setiap tiga bulan layaknya botol plastik. Biaya operasional disebut menjadi berkurang.
Menurut CSR Officer Badak LNG Muhammad Yahdi Urfan, rendahnya biaya operasi ini baru tampak keunggulannya mulai dari 12 tahun. Saat ini karena masih baru, produksi kapsul masih ditanggung oleh PT Badak LNG.
“Kalau murah, masih dengan catatan itu dipakainya berapa tahun. Jadi 12 tahun, baru 12 tahun udah enggak ada biaya lagi ya, investasi,” ujar Urfan kepada wartawan di Kampung Terapung Tihi-Tihi, Senin (13/11).
ADVERTISEMENT
Rumput Laut dan Potensi Wisata Tihi-Tihi
Selain mengurangi limbah plastik, adanya inovasi kapsul ini juga dinilai membantu akses pariwisata. Kampung Tihi-Tihi beberapa tahun terakhir memang dikembangkan jadi desa wisata, tetapi terkendala akses.
Urfan bercerita ada konflik sosial lantaran boat pengangkut ditakutkan merusak tali rumput laut dan harus memberi ganti rugi. Soalnya, botol plastik pelampung rumput laut sering tak terlihat di permukaan, sehingga.
Nah, Kapsurula yang dicat cerah dan punya reflector berwarna menjadi navigasi jalur kawasan rumput laut.
“Sekarang sudah ada pelampung besar (kapsurula) itu menandakan alur-alur. Jadi, masyarakat umum pun yang mau masuk ke Tihi-Tihi sudah lihat alur,” ujar Urfan.
Mata pencaharian utama warga Tihi-Tihi memang merupakan petani rumput laut. Mereka mengeringkan rumput laut kemudian dijual ke pengepul.
ADVERTISEMENT
Total ada sebanyak 93 kepala keluarga di Tihi-Tihi yang menggantungkan hidupnya dari bertani rumput laut dan jadi nelayan tangkap. Sepanjang tahun, warga bisa panen sebanyak 8 kali dengan jarak sekitar 1,5 bulan.
Jika bagus, mereka bisa dapat total 40 ton rumput laut kering setiap bulan. Namun, bisa juga hasilnya sedikit, sekitar 50 kg saja atau setara Rp 500 ribu.
Selain bertani rumput laut, Kampung Tihi-Tihi kini juga mengembangkan potensi wisata lainnya, seperti membangun rumah makan seafood, homestay, hingga snorkeling dan susur mangrove. Jadi, harapannya masyarakat bisa terus tumbuh dari wisata ini.
Indra Gunawan, Ketua MENARA MARINA di Tihi-Tihi menyebut kunjungan wisatawan terus meningkat. Dia menyebut setiap minggu selalu ada tamu yang datang menginap.
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillah tiap minggu itu pasti ada, barang kadang seminggu 2-3 kali. Kalau sebelumnya 2 bulan sekali. Sudah mulai terkenal juga kan,” kata dia.
Para tamu yang datang biasanya menikmati suasana pesisir sambil menginap. Tak sedikit pula yang makan di restoran seafood.
“Jadi, kita sekarang rumah warga sudah disiapkan kayak homestay-nya. Ya, diperbaiki lah, kamar-kamar yang kecil, ke depannya tamu itu pasti menginap,” imbuh Indra.
Melihat potensi ini, Badak LNG turut berkomitmen mengembangkan Tihi-Tihi. Manager CSR & Relations Badak LNG Putra Peni Luhur Wibowo, mengatakan Badak LNG akan menjadikan Tihi-Tihi menjadi salah satu objek destinasi wisata di atas air.
“Potensi Tihi-Tihi sangat besar untuk kita kembangkan. Tentu ini tidak hanya melibatkan kami saja, kami juga turut melibatkan stakeholder lain seperti Dinas Pariwisata yang secara kolaboratif akan mewujudkan cita-cita ini,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Live Update